Generasi Ulul Albab senantiasa memikirkan apa yang ada di langit dan bumi. Mereka, tulis Ibnu Katsir, “Memahami apa yang terdapat pada keduanya (langit dan bumi) dari kandungan hikmah yang menunjukkan keagungan Allah Ta’ala, kekuasaan-Nya, keluasan ilmu-Nya, hikmah-Nya, pilihan-Nya, dan rahmat-Nya.”
Sosok Luqman al-Hakim yang bijaksana memberi nasihat tentang keutamaan berpikir ini, “Sesungguhnya menyendiri dalam waktu yang lama akan mengilhamkan untuk berpikir. Dan berpikir dalam waktu yang lama (tentang kekuasaan Allah Ta’ala) adalah jalan-jalan menuju pintu surga.”
Al-Hasan, menjelaskan makna berpikir dengan mengatakan, “Ia adalah cermin yang menunjukkan kebaikan dan kejelekan-kejelekanmu.” Muhasabah, inilah makna berpikir menurut al-Hasan. Ialah kondisi merenungi diri, memikirkan apa yang dikerjakan dalam kurun waktu tertentu, lalu berhitung; apakah amal shaleh yang mendominasi, atau sebaliknya.
Selain itu, menurut Sufyan bin Uyainah, “Berpikir merupakan cahaya yang masuk ke dalam hatimu.” Ialah memikirkan kekuasaan Allah Ta’ala atas diri kita dan alam semesta; bahkan di dalam diri saja terdapat nikmat yang sangat banyak dan tidak mungkin dibincang satu persatu.
Di antara puncaknya, sebagaimana dikatakan oleh Nabi ‘Isa ‘Alaihis salam, “Berbahagialah bagi orang yang lisannya senantiasa berdzikir, diamnya selalu berpikir, dan pendapatnya mengandung ibrah (pelajaran).”
Pantas saja, di dalam al-Qur’an terapat banyak pertanyaan, “Apakah kamu tidak berpikir?”, “Apakah kamu tidak memperhatikan?”, dan kalimat lain yang maknanya serupa. [Pirman/kisahikmah]