Menanggapi hal itu, banyak sahabat Buya yang protes. Bahkan, diantara mereka ada yang bertanya mengapa Buya tidak menaruh dendam. Diantaranya yang lain bahkan mengatakan Soekarno sebagai sosok yang munafik.
Menanggapi respon sahabat-sahabatnya itu, Buya menunjukkan kelasnya sebagai ulama panutan. Beliau mengatakan, “Tidak ada yang mengetahui kemunafikan seseorang kecuali Allah Swt,” lanjutnya, “saya justru berterima kasih kepadanya.”
Masya Allah, tidakkah beliau salah ucap? Beliau menyampaikan terima kasih kepada orang yang menjebloskannya ke dalam penjara. Apa pasal? Terang beliau, “Karena dalam penjara itu, aku bisa menyelesaikan penulisan tafsir al-Qur’an sebanyak 30 juz.”
Subhanallah, walhamdulillah. Inilah ulama sejati. Tahanan baginya adalah rihlah, wisata ruhani. Bisa dipahamai, sebab beliau memiliki jam terbang dakwah yang tinggi. Sementra di dalam jeruji besi, beliau memiliki keluangan waktu untuk menulis dan membaca.
Belum usai, Hamka masih meluncurkan pujian dan doa kepada lawan politiknya itu, “Jangan dilupakan,” tuturnya, “almarhum adalah sosok yang memprakarsai pendirian dua masjid monumental di negeri ini.” Dua masjid yang dimaksud adalah, “Masjid Baiturrahim di kompleks Istana Negara,” dan, “Masjid terbesar di Asia Tenggara, Istiqlal.”
Pungkas ulama kharismatik ini, “ Semoga ini menjadi amal tak terhingga untuk Soekarno.”
Inilah teladan kebaikan yang akan senantiasa harum dikenang sejarah. Sebuah sikap kesatria sebab mendoakan sosok yang memusuhi bahkan menjebloskannya ke dalam jeruji besi. Semoga kedua bapak bangsa ini mendapatkan ampunan dan kasih sayang dari Allah Swt, aamiin. [Pirman]