الرَّابِعُ: أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي قُبْحِ صُورَتِهِ عِنْدَ الْغَضَبِ، بِأَنْ يَتَذَكَّرَ صُورَةَ غَيْرِهِ فِي حَالَةِ الْغَضَبِ، وَيَتَفَكَّرَ فِي قُبْحِ الْغَضَبِ فِي نَفْسِهِ، وَمُشَابَهَةِ صَاحِبِهِ لِلْكَلْبِ الضَّارِي وَالسَّبُعِ الْعَادِي، وَمُشَابَهَةِ الْحَلِيمِ الْهَادِي التَّارِكِ لِلْغَضَبِ لِلْأَنْبِيَاءِ وَالْأَوْلِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَالْحُكَمَاءِ، وَيُخَيِّرَ نَفْسَهُ بَيْنَ أَنْ يَتَشَبَّهَ بِالْكِلَابِ وَالسِّبَاعِ وَأَرَاذِلِ النَّاسِ، وَبَيْنَ أَنْ يَتَشَبَّهَ بِالْعُلَمَاءِ وَالْأَنْبِيَاءِ فِي عَادَتِهِمْ؛ لِتَمِيلَ نَفْسُهُ إِلَى حُبِّ الِاقْتِدَاءِ بِهَؤُلَاءِ إِنْ كَانَ قَدْ بَقِيَ مَعَهُ مُسْكَةٌ مِنْ عَقْلٍ
“Keempat, berpikir bagaimana buruknya muka ketika marah. Bayangkan bagaimana raut muka orang lain saat marah, berpikirlah tentang buruknya marah di dalam dirinya, berpikirlah bahwa saat marah ia seperti anjing yang membahayakan dan binatang buas yang mengancam, berpikirlah untuk menyerupai orang ramah yang dapat menahan amarah layaknya para nabi, wali, ulama dan para bijak bestari. Berilah pilihan untuk dirimu, apakah lebih memilih serupa dengan anjing, binatang buas dan manusia-manusia hina; ataukah memilih untuk menyerupai ulama dan para nabi di dalam kebiasaan mereka? Agar hatinya condong untuk suka meniru perilaku mereka jika ia masih menyisakan satu tangkai dari akal sehat.”
الْخَامِسُ: أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي السَّبَبِ الَّذِي يَدْعُوهُ إِلَى الِانْتِقَامِ وَيَمْنَعُهُ مِنْ كَظْمِ الْغَيْظِ، مِثْلَ قَوْلِ الشَّيْطَانِ لَهُ: إِنَّ هَذَا يُحْمَلُ مِنْكَ عَلَى الْعَجْزِ وَالذِّلَّةِ وَتَصِيرُ حَقِيرًا فِي أَعْيُنِ النَّاسِ فَيَقُولُ لِنَفْسِهِ: «مَا أَعْجَبَكِ! تَأْنَفِينَ مِنَ الِاحْتِمَالِ الْآنَ، وَلَا تَأْنَفِينَ مِنْ خِزْيِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَا تَحْذَرِينَ مِنْ أَنْ تَصْغُرِي عِنْدَ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّبِيِّينَ» .
“Kelima, berpikir tentang sebab yang mendorongnya untuk membalas dan mencegahnya dari menahan amarah, semisal ketika dalam hati terdapat bujuk rayu setan; ‘Sesungguhnya orang ini membuatmu lemah dan rendah serta menjadikanmu hina di mata manusia’, maka jawablah dengan tegas di hatimu ‘Aku heran denganmu. Kamu sekarang mencemoohku karena menahan diri, sedangkan kamu tidak mencemooh dari kehinaan di hari kiamat. Kamu tidak khawatir dirimu akan hina di sisi Allah, para malaikat dan para Nabi’.”
فَمَهْمَا كَظَمَ الْغَيْظَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكْظِمَهُ لِلَّهِ، وَذَلِكَ يُعَظِّمُهُ عِنْدَ الله
“Ketika ia menahan amarah, maka seyogiayanya menahan amarah karena Allah. Yang demikian itu bisa membuatnya agung di sisi Allah.” (Syekh Jamaluddin al-Qasimi, Mau’idhah al-Mu’mini Min Ihya’ Ulum al-Din, hal. 208)