Eramuslim – Setiap manusia pasti pernah marah. Misalnya saat keinginan seorang istri tak dipenuhi suaminya, terkadang ia jadi marah.
Sejatinya, punya perasaan marah adalah sesuatu yang wajar. Nabi, sahabat Nabi, dan para ulama juga pernah marah.
Namun yang paling penting diperhatikan adalah atas dasar apa kita marah dan bagaimana kita menyikapi gejolak itu? Menahannya atau membiarkannya hingga memunculkan perilaku lanjutan yang tak baik seperti berkata kasar, melukai orang lain, merusak barang, dan semacamnya.
Ada beberapa penjelasan tentang sisi negatif marah, di antaranya:
وَرُوِيَ أَنْ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مُرْنِي بِعَمَلٍ وَأَقْلِلْ، قَالَ: لَا تَغْضَبْ، ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: لَا تَغْضَبْ
“Seorang laki-laki pernah meminta nasihat, ‘Wahai Rasulullah, perintahlah aku dengan sebuah perbuatan dan sedikitkanlah (jangan banyak-banyak).’ Nabi menjawab, ‘Jangan marah.’ Laki-laki tersebut mengulangi permintaannya, lalu Nabi tetap menjawab, ‘Jangan marah’.” (HR al-Bukhari)
Dalam riwayat lain disebutkan:
وقال ابن مسعود قال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَعُدُّونَ الصُّرَعَةَ فِيكُمْ قُلْنَا الَّذِي لَا تَصْرَعُهُ الرِّجَالُ قَالَ لَيْسَ ذَلِكَ وَلَكِنِ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغضب
“Ibnu Mas’ud berkata, Nabi bertanya, ‘Siapa yang kalian anggap sebagai orang yang perkasa?’ Kami menjawab, ‘Dia yang tidak bisa dikalahkan keperkasaannya oleh siapa pun.’ Nabi menimpali, ‘Bukan demikian, akan tetapi yang perkasa adalah orang yang bisa menahan dirinya ketika marah’.” (HR Muslim)