Syekh Qaradhawi juga tidak membedakan kewajiban itu apakah kepada yang adil atau menyimpang (zalim). Dia mencontohkan, penggunaan harta haram untuk kewajiban membayar pajak kepada pemerintah yang memang bermacam-macam keadaannya juga dilarang. Tidak juga untuk keperluan membeli bahan bakar.
Kedua, membiarkan bunga tersebut untuk bank. Yusuf Qaradhawi pun menegaskan, sikap itu juga tidak dibenarkan. Apabila bank yang memungut bunganya, berarti justru akan memperkuat keberadaan bank ribawi dan membantunya untuk meneruskan program-program mereka. Menurut Qaradhawi, hal tersebut termasuk dalam kategori membantu kemaksiatan. “Sedangkan, membantu yang haram hukumnya haram sebagaimana saya jelaskan dari kitab saya al-Halal wal-Haram fil Islam,” ujar Qaradhawi.
Ketiga, membebaskan diri daripadanya dengan merusak dan menghabiskannya. Menurut Qaradhawi, hal tersebut dikemukakan oleh sejumlah ulama salaf, tetapi ditolak oleh Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin. Imam Ghazali beralasan jika harta tersebut termasuk harta yang pemiliknya tidak tertentu sehingga sangat disesalkan jika dibekukan begitu saja.
Keempat, menggunakan harta itu untuk berbagai macam amal kebajikan. Sebagai contoh untuk fakir miskin, anak yatim, ibnu sabil, organisasi kemasyarakatan, dan dakwah Islam. Qaradhawi berpendapat, ini merupakan jalan yang rasional dan nyata.
Qaradhawi menjelaskan, ketika turun ayat-ayat Alquran dalam QS ar-Rum 1-3 yang memberitakan tentang kemenangan Romawi, Abu Bakar as-Shiddiq mengajak mereka bertaruh atas izin Rasulullah SAW. Ketika Allah SWT merealisasikan janji-Nya itu, Abu Bakar datang kepada Nabi SAW dengan kemenangan taruhan itu. Akan tetapi, beliau bersabda: “Ini haram.” Beliau pun menyedekahkannya sehingga orang-orang mukmin merasa gembira dengan pertolongan Allah itu — ayat yang mengharamkan judi turun setelah Rasulullah SWT memberi izin kepada Abu Bakar untuk bertaruh.
Dalil lainnya, yakni Atsar dari Imam Gazali mengenai kisah sahabat Ibnu Mas’ud. Beliau dikisahkan pernah membeli seorang budak perempuan, tetapi ketika mau membayarnya, Ibnu Mas’ud tak menjumpai pemiliknya. Dia sudah berusaha mencarinya, tetapi tak menemukannya. Dia pun menyedekahkan uang pembayaran itu.
Imam Hasan Ra juga pernah ditanya tentang tobatnya koruptor yang mengambil harta rampasan sebelum dibagi beserta status harta yang diambilnya setelah semua pasukan kembali ke rumah masing-masing. Maka beliau menjawab, disedekahkan. Meski demikian, salah satu ulama al- Azhar berpendapat, bunga itu bukan termasuk riba. Pendapat itu dinyatakan dalam bukunya berjudul “Muamalat al-Bunuk wa Ahkamuha as-Syar’iyyah”.
Dasar pemikiran Sayyid Thanthawi adalah pada banyak hadits menyebutkan, Rasulullah SAW telah memberikan lebihan dari pokok utang kepada kreditur (orang yang meminjami) karena didorong ungkapan terima kasih dan penghargaan. Sebagai mana hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata, “Rasulul lah SAW pernah punya utang ke padaku, lalu beliau membayarnya lebih dari yang semestinya.” (HR al-Bukha ri Muslim).
Dari hadits itu, Sayyid Than thawi menjabarkan, penambahan dan lebihan dari pokok utang, baik dalam bentuk uang, benda maupun hewan; baik dalam timbangan maupun ukuran, tidak mengapa diberikan, selagi penambahan seperti itu muncul dari hati yang tulus, tanpa disertai syarat dan tidak disertai sesuatu yang haram, maka itulah yang di bolehkan sebab memang tidak ada larangan. Lagi pula, hal itu termasuk yang disinggung dalam firman Allah SWT.
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
“Apabila ka mu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitungan atas tiap-tiap sesuatu.” (QS an-Nisa` [4]: 86). (rol)