Eramuslim.com – Dengan ungkapan yang paling berkelas, ayat-ayat yang Allah Ta’ala turunkan melalui malaikat Jibril ‘Alaihis salam kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam merupakan sajian ruhani bergizi tinggi. Maknanya bukan hanya berkesan di pikiran, tapi menembus ruhani orang yang mengimaninya.
Di antara bentuk berkelasnya bahasa al-Qur’an al-Karim ialah penggunaan kalimat pertanyaan yang bermakna sindiran dan ungkapan superlatif. Misalnya, di dalam surat al-An’am [6] ayat 93, Allah Ta’ala berfirman, “Dan siapakah yang lebih zhalim daripada…”
Terulang di beberapa ayat lain, frasa ‘lebih zhalim’ dalam bentuk pertanyaan ini bermakna superlatif; paling zhalim. Di dalam kelanjutan ayat ini, mereka yang ‘paling zhalim’ disematkan kepada orang yang memiliki dua ciri. Malangnya, dua ciri ini justru menunjukkan kesan bahwa orang tersebut paling alim di mata kaumnya.
Pertama, berdusta atas nama Allah Ta’ala.
Disebutkan dalam kelanjutan ayat tersebut, “(Ialah orang) yang mengadakan kedustaan terhadap Allah atau berkata, ‘Telah diwahyukan kepadaku.’”
Secara khusus, ayat ini dinisbatkan kepada nabi palsu Musailamah al-Kadzdzab. Namun, ayat ini berlaku sampai akhir zaman dan dinisbatkan pula kepada Musadiq, Mirza Ghulam Ahmad, atau siapa pun yang mengaku sebagai nabi dan utusan Allah Ta’ala lainnya.
“Padahal,” lanjut ayat tersebut, “tidak diwahyukan sesuatu pun kepadanya.”