Eramuslim – ISLAM mengajarkan agar setiap insan mengerjakan segala sesuatu secara ikhlas. Contohnya ikhlas menerima cobaan (tidak mengeluh) atau ikhlas membantu (tidak berharap pujian).
Lalu bagaimana tanda seseorang telah ikhlas? Ada yang menanyakan pada Yahya bin Mu’adz, “Kapan seorang hamba disebut berbuat ikhlas?”, Yahya menjawab “Jika keadaanya mirip dengan bayi yang menyusui. Cobalah lihat bayi tersebut dia tidak lagi peduli (red. cuek) jika ada yang memuji atau mencelanya.”
Muhammad bin Syadzan berkata, “Hati-hatilah ketamakan ingin mencari kedudukan mulia di sisi Allah Ta’ala, namun di sisi lain masih mencari pujian dari manusia.” Maksudnya adalah ikhlas tidaklah bisa digabungkan dengan selalu mengharap pujian manusia dalam beramal.
Ada yang berkata pada Dzun Nuun Al Mishri rahimahullah, “Kapan seorang hamba bisa mengetahui dirinya itu ikhlas?”, Dzun Nuun menjawab, “Jika ia telah mencurahkan segala usahanya untuk melakukan ketaatan dan ia tidak gila pujian manusia.” (Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayid bin Husain Al ‘Afani, terbitan Darul ‘Afani, cetakan pertama, 1421 H, hal. 315-317)
Perintah untuk ikhlas sendiri ada dalam ayat berikut:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (artinya: ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)