Persoalannya, tidak semua amal diterima. Sebagaimana sebuah percobaan dalam penelitian yang tidak semuanya berhasil, begitu pula amal shalih. Banyak faktor yang menyebabkan sebuah amal diterima atau ditolak. Bermula dari niat, cara dalam beramal, dan faktor-faktor lain di sepanjang dan setelah melakukan amal.
Lantas, bagaimana cara mengetahui diterima atau ditolaknya sebuah amal? Berikut penjelasan Imam Ibnu Rajab al-Hanbali.
“Tanda diterima amal adalah ketika suatu ketaatan yang dilakukan oleh seorang hamba bisa menuntunnya menuju ketaatan lain yang lebih tinggi.”
Berkelanjutan. Itulah di antara tanda diterimanya amal. Maka lihatlah, mereka yang tetap beramal selepas Ramadhan, misalnya, dan terus-menerus mengeja taat hingga sebelas bulan selepas berlalunya bulan suci.
Amal shalih yang berketerusan ini pula yang akan menggerakkannya untuk melakukan ketaatan-ketaatan lain berupa memakmurkan bumi-Nya. Amal-amal yang diterima ini akan menggerakkan seorang hamba untuk memperbaiki kualitas wawasan keilmuannya, akhlaknya, kehidupannya, dan masyarakatnya secara luas.
“Adapun tanda ditolaknya amal adalah ketaatan yang diikuti dengan perbuatan maksiat. Perbuatan baiknya tidak mampu mencegahnya dari keburukan.”
Betapa banyak kita jumpai orang-orang yang ‘shalat terus maksiat jalan’? Banyak pula di antara mereka yang pagi mendirikan shalat, siangnya korupsi, menjelang sore berinfaq, dan malamnya masuk ke tempat hiburan yang diharamkan. Amat mengerikan.
Di antara catatan lain yang patut kita perhatikan, jangan sampai merasa banyak beramal, padahal hanya sedikit amalnya yang diterima.
Ya Rabb kami, terimalah dari kami amal-amal shalih kami. Sesungguhnya Engkau Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang. [Pirman/Kisahikmah]