Kehati-hatian dan waspada akan berita menjadi hal yang teramat penting. Apalagi bagi seorang pemimpin. Pemimpin di era politik gaduh seperti saat ini, tampaknya bukan hanya memerlukan kriteria sebatas ajaran Tao bahwa ia harus laiknya danau: tenang berkedalaman, anggun, dan menampung. Menampung, tetapi bila yang ditampung di dasar kedalaman hati dan benaknya adalah informasi sampah, sekadar info asal babe senang (ABS), atau bahkan kebohongan yang disengaja dengan tujuan menjerumuskan suatu pihak, tentu tak lebih dari menampung sumber penyakit.
Kalau pun seorang pemimpin perlu pembisik, kawan-kawan dekat yang ia percayai, seharusnya ia memilih berdasarkan kriteria ideologi. Ia harus percaya, langkah praksis seseorang sangat bergantung kepada ortodoksi atau katakanlah doktrin ideologi yang ia anut dan yakini. Itu sebabnya mengapa para sultan Turki di era Utsmani hanya mempekerjakan orang-orang non-Islam paling tinggi di barisan bersenjata pengawal Sultan, atau janissary. Tidak sebagai penasihat utama sultan.
Kalau pun seorang pemimpin perlu pembisik, ia harus yakin apa yang dibisikkan orang kepercayaan itu benar adanya. Jangan menutup data, membaik-baikkan segala yang degil sebenarnya. Bila tidak, si pemimpin bahkan tak tahu melambungnya harga-harga kebutuhan dasar warga seperti beras, gas rumah tangga, minyak goring, dan sebagainya. Karena sebagai pemimpin, ia tak bisa berkata bahwa dirinya tak dilapori, atau mengatakan,Bukan urusan saya, yang sebenarnya menegaskan kondisi yang lebih parah.
Bila seorang pemimpin berani menjanjikan, seyogyanya sebagaimana dikatakan islamolog Phillip H Stoddard, ia harus selalu meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sadar. Ia selalu terjaga dan tak melupakan misi terpenting manusia ketika mendapatkan amanah kepemimpinan, yakni sebagaimana kata cendikiawan Fazlur Rahman, membela, menyelamatkan, membebaskan, melindungi dan memuliakan kelompok dhuafa dan mustadafin. Memanusikan mereka yang selama ini lemah dan dilemahkan.