Eramuslim – ALLAH taala telah menjelaskan kepada manusia akan keagungan diri-Nya dan kefakiran mereka kepada Allah. Allah pun telah menetapkan akan tujuan penciptaan mereka, yaitu peribadahan dan penghambaan. Namun Dia menetapkan bahwa Dia tidak butuh untuk dipersekutukan, dengan sesuatu apapun.
Tidak jin, manusia, atau malaikat sekalipun. Dan memang Dia tidak layak untuk dipersekutukan. Maka setiap amal yang ditujukan kepada-Nya, namun juga berharap dari selain-Nya akan menjadi sia sia. Ibarat jasad tanpa ruh, seperti itulah nilai suatu amalan tanpa keikhlasan. Dia ada, namun mati, membusuk, dan tidak berharga.
Lalu apa pula yang diharapkan dari selain-Nya, sedang segala sesuatu adalah milik-Nya?! Kebodohan macam apa dalam pengharapan kepada manusia, sedang surga milik sang pencipta? Apa jua manfaat pujian, kekaguman, dan penghargaan dari mereka yang tidak memiliki apa apa?
Namun dalam kenyataannya, jarang kita temukan orang orang yang ikhlas dalam beramal. Kejahilan terhadap Sang Pencipta, menjadikan kebanyakan orang lebih berharap kepada manusia daripada balasan dari Allah taala. Dan ternyata memang, pada praktiknya pentingnya keikhlasan tidak menjadikan dia mudah untuk diterapkan. Bukan hanya bagi orang awam seperti kita, namun para ulama dahulu pun merasakannya.
Seperti Sufyan At Tsauri rahimahullah yang berkata, Tidak ada sesuatu yang lebih berat bagiku melebihi masalah niatku, karena ia mudah berbolak balik. Atau Yusuf bin Husain rahimahullah yang mengatakan, sesuatu yang paling susah bagiku di dunia ini adalah keikhlasan, berapa kali aku bersungguh-sungguh untuk menghilangkannya dari hatiku, namun seakan akan dia tumbuh kembali dengan corak yang lain.