Seperti pada ayat di atas, ujian tak mesti berbentuk sesuatu yang buruk. Lahir dalam lingkungan yang berada, dengan asupan makanan dan gizi yang baik, dirawat dengan baik, itu juga ujian.
Apakah kelak dari semua kebaikan dan keberuntungan itu ia akan menjadi pribadi yang bersyukur, mengenal Allah, baik terhadap orang lain, tertanam rasa empati dan simpati terhadap orang lain yang tak seberuntung dirinya atau tidak. Apakah akan menjadi pribadi yang saleh atau sebaliknya, menjadi pribadi yang individualis, egois, angkuh, dan tak peduli dengan sesama.
Orang beriman yang menyadari posisi dirinya dalam hidup akan melihat keburukan dan kebaikan sebagai kesempatan emas untuk tetap istiqamah dalam kebaikan. Ketika didera keburukan, ia akan tetap ingat Allah, tetap baik dalam hubungan sosial dan bersabar dengan apa yang dialami.
Pun ketika merasa berada dalam kebaikan, kehidupan yang nikmat, tak kekurangan, serbacukup, ia akan menyadari ada orang-orang yang tidak sebaik dirinya. Dari situ lahir empati dan kepedulian terhadap orang-orang yang tak mampu, lalu ia menjadi orang yang ringan tangan memberi tanpa pamrih serta berbuat semampunya untuk membantu.
Orang seperti itulah yang dimaksud oleh Rasulullah sebagai mukmin sejati yang beruntung di dunia dan di akhirat:
خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengagumkan perihal orang mukmin; semua hal yang menimpa mereka membuahkan kebaikan yang itu tidak didapatkan oleh selainnya: jika ia mengalami kelapangan atau kebaikan ia bersyukur, maka itu baik buatnya. Dan, jika ia mengalami kesempitan atau keburukan ia bersabar, maka itu juga baik buatnya.” (HR Muslim dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan RA). (rol)