Seorang balita tampak memperhatikan ibunya yang masih sibuk di dapur. Tangannya begitu cekatan mempermainkan alat-alat dapur untuk disusun rapi. Sesekali, sang ibu kembali sibuk mengaduk-aduk masakan yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
Sang balita tak tahu persis, sejak kapan bunda tercintanya itu terbangun dari tidur. Yang ia tahu, ketika terbangun, ibunya sudah mondar-mandir di dapur. Padahal, baru tiga jam yang lalu, ia masih ingat betul bagaimana ibunya telah direpotkan dengan ompol dan buang air besar sang adik di TKP, alias tempat tidur.
“Mbok Iyem masih di kampung, ya, Ma?” ucap sang balita ke ibunya.
Sang ibu hanya menoleh dengan senyum, kemudian mengangguk pelan. “Kamu kangen, ya?” ucap sang ibu agak membungkuk.
“Aku cuma heran, Ma. Kok, kerja Mama sama Mbok Iyem beda sih?” tanya sang balita serius.
“Iya beda, sayang. Mbok Iyem kerja di sini karena ada gaji dan kewajiban mengurus rumah kita,” ucap sang ibu singkat.
“Kalau Mama, karena apa?” tanya sang balita lagi.
”Cinta!” jawab sang ibu sambil mengecup pipi balitanya.
**
Dalam tafsiran yang lebih khusus, tidak sedikit dari kita yang ’berkerja’ dalam ibadah kepada Yang Maha Pencipta, Pemberi rezeki, dan Penguasa alam raya; hanya sebatas pada kewajiban seorang hamba kepada Khaliqnya. Di situlah ada harapan mendapatkan balasan berupa gaji yang bernama pahala.
Walaupun masih tergolong wajar, tapi itu akan menggiring sang hamba pada hitung-hitungan antara kewajiban dan pahala. Seolah, kepuasan dari menunaikan kewajiban adalah berlimpahnya pahala. Persis seperti seorang pembantu yang rajin dan malasnya sangat bergantung pada gaji dari majikan.
Tidakkah sang hamba menekuri lebih dalam bahwa nilai surga yang dijanjikan tidak akan sebanding dengan seberapa pun banyaknya pahala seseorang. Yang Maha Sayang semata-mata memasukkan hambaNya ke surga karena limpahan cintaNya kepada hamba-hambaNya yang juga beramal karena cinta. Persis seperti seorang ibu yang melakoni lautan kewajiban dengan samudera cinta. (mn)
ilustrasi: lisisoft