Selagi hidup Takut Murka Allah, di atas Tikar Maut Mengharap Rida’ dan Maghfirah-Nya
“Perangai takut lebih mulia selagi hidup. Namun, jika ajal menjemput, sifat berharap rida dan maghfirah Allah lebih mulia.” (Abu Thâlib al-Makki. Muhammad bin Ali bin Atiyyah al-Hâritsi. Qût al-Qulûb fi Muâmalah al-Mahbûb wa Wasf Tharîq al-Murîd ila Maqâm at-Tauhîd)
Setiap fase kehidupan manusia, Islam senantiasa membekalinya dengan sifat-sifat kepribadian luhur yang mampu menciptakan kedekatan tersendiri dengan Sang Maha Pencipta.
Di dunia hamba dianjurkan takut dan di atas tikar maut dianjurkan berharap penuh maghfirah dan rida’ Allah.
Dengan takut murka Allah, zona terlarang syariat tidak dilanggar karena lampu merah yang mengisyaratkan stop terlalu terang untuk diabaikan. Sebelum berhenti, laju kendaraan sudah diundur dan berhenti pada saat yang tepat. Kehidupan yang merupakan kendaraan dipandu baik dalam menghidupkan ladang-ladang akhirat yang penuh dengan pesona buah-buah indah ibadah. Jika kendaraan itu melaju di luar jalur yang digariskan, syariat dengan cepat memberi tanda peringatan dan larangan sehingga ia pun tetap berada pada jalur yang benar.
Dengan takut Allah, ketenangan jiwa dan ketentraman hati begitu damai menghembuskan inspirasi-inspirasi positif terhadap kemajuan umat. Yang digagas dan diaktualisasikan ke alam fisik hanyalah proyek-proyek jitu yang menguntungkan, bukan yang merugikan atau menyengsarakan meski kelihatan cantik dan menarik. Betapa banyak proyek-proyek handal sarjana muslim dahulu yang disalahgunakan ilmuwan modern sekarang dan disulap menjadi inovasi canggih yang merugikan atau dikembangkan menjadi alat pemusnah masal.
Bermanfaat atau tidak, merugikan atau tidak sebuah kreasi pikir lebih ditentunkan perangai sang penemu dan pengguna. Hanya pribadi yang takut kepada Allah yang mampu mengekang nafsu kekuasaan dan ketamakan popularitas semu dan dapat menempatkan segala sesuatu pada tempatnya sehingga berguna untuk dirinya dan kelangsungan hidup umat.
Dengan takut Allah, desir-desir kata hati yang membisikkan sesuatu dapat dibedakan dan disikapi; ini niat buruk yang harus dikubur mati dan yang satu ini baik dan mesti ditindaklanjuti. Ini khayalan semata dan angan-angan tidak menentu yang harus ditepis dan yang satu ini dorongan maju yang harus disikapi dengan langkah positif yang membangun. Ini kawan baik yang dapat dijadikan teman dalam mencari rida’ Allah dan yang satu ini harus dijauhi karena tidak menginginkan kebaikan. Dengan takut Allah, semuanya jelas menjelaskan hakikat.
Ini selagi hidup di dunia dengan penuh keceriaan dan kegembiraan, tetapi di atas sakratul maut sungguh beda. Anda diminta mengharap rida’ dan maghfirah Allah.
Dengan berharap rida’ dan Maghfirah Allah, detik-detik terakhir ajal dinikmati dengan penuh rasa dan hikmah, munajat dengan Zat Yang Maha Mulia diresapi sepenuh hati dengan begitu indah, hiburan orang-orang terdekat terasa lembut di telinga, dan senantiasa berlemah lembut mendekatkan diri ke Zat Yang Maha Pengasih serta berprasangka baik terhadap-Nya dari pesona ampunan dan kemuliaan anugerah-Nya.
Dengan berharap rida’ dan maghfirah Allah, cahaya tauhid memberi terang dan nyala api syirik yang menyilaukan mata kalbu dari hakikat-hakikat kebenaran Allah akan padam selama-lamanya. Cahaya tauhid itu lebih kuat menghanguskan kejahatan-kejahatan masa lalu seorang muslim dari pada kekuatan api syirik terhadap kebaikan-kebaikan seorang musyrik.
Sulaeman at-Taymi tat kala di atas tikar maut berpesan kepada anaknya, “wahai anakku! Beritahulah saya kemudahan-kemudahan syariat terhadap orang yang sedang menghadapi sakratul maut seperti ayahandamu sekarang! Bisikkan pula sebuah harapan sehingga aku menemui Allah sesuai dengan bisikan prasangka baik aku!”
Hal serupa ditemukan pada Imam Ahmad bin Hanbal yang berpesan kepada anaknya di atas tikar maut, “Beritahulah aku berita-berita yang membisikkan harapan dan prasangka baik Terhadap Allah!”
Dengan berharap rida’ dan maghfirah Allah, alam kubur yang gelap tidak asing bahkan jadi akrab, neraka dan siksaan-siksaannya tidak lagi menakutkan, surga dan nikmat-nikmatnya bukan lagi tujuan utama meski diinginkan dan dirindukan karena yang terutama melihat Sang Maha Pencipta tanpa hijab dengan penuh keinginan dan kerinduan, seperti munajat waliyullah Rabîah al-Adawiyyah. Dengan mengharap rida’ dan ampunan-Nya dosa-dosa masa silam akan terhapus dengan izin-Nya.
Yahya bin Muads berkata, “jika tauhid sesaat menghapus dosa-dosa lima puluh tahun silam, maka apa yang akan diperbuat tauhid lima puluh tahun terhadap dosa-dosa?”
Jika Anda bertanya, “kenapa sifat berharap ini punya keampuhan luar biasa seperti itu?”
Yah, ia punya kemampuan seperti itu karena dengan berharap lahir perasaan cinta dan rindu kepada Allah. Dengan cinta dan rindu, Anda berpeluang meraih rahmat Allah. Bukankah rahmat Allah lebih mengalahkan murka-Nya? Bukankah Allah lebih menyanyangi Anda dari kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya?
Dengan berharap rida’ dan maghfirah Allah, Anda tidak cepat putus asa sehingga dengan sendirinya Anda jauh dari sifat terkutuk orang-orang kafir dan musyrik yang berputus asa dari rahmat Allah.
Wahai para pedamba husnul khatimah! Takut dan berharaplah kepada Allah! Seandainya kedua sifat ini tidak terhitung perangai muslim yang jitu dalam upaya mendekatkan diri ke Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang, para shalihin dari kalangan salaf tidak akan mungkin memintanya siang dan malam. Ikuti jejak mereka jika Anda benar-benar perindu sejati husnul khatimah!