Semakin senang mengenang, mengingat kebaikan dan jasa seseorang kepada kita, niscaya Allah akan menanamkan rasa nyaman di hati kita. Kemudian, hadirlah rasa ingin untuk membalas kebaikan tersebut.
Namun, sebaliknya bila kita lebih fokus kepada kekurangan dan kesalahan, niscaya Allah akan tanamkan rasa gelisah, jengkel. Sikap kufur nikmat akan berbuah perbuatan zalim.
Berterima kasih atau membalas kebaikan orang lain adalah wujud rasa syukur kita kepada Allah SWT. Dan, sikap tersebut membuktikan keberanian dan kerendahan hati kita untuk mengakui kebaikan orang lain. Hal ini menjadikan jalan ringannya tali silaturahim untuk terjalin dengan orang lain sehingga semakin luaslah pergaulan, semakin bertambah teman, semakin banyak sahabat. Artinya, semakin luas jaringan dan semakin banyak jalan rezeki Allah SWT.
Di sinilah kita menemukan bahwa berterima kasih, membalas budi, adalah wujud rasa syukur, sedangkan syukur kepada Allah itu mengundang rezeki lain untuk dekat dengan kita. Namun, kita berterima kasih dan membalas budi bukanlah karena mengharapkan pamrih atau mencari dunia, melainkan karena Allah menyukai hamba-Nya yang bersyukur.
Rasulullah. adalah teladan kita, beliau adalah sosok yang paling pandai berterima kasih kepada sesama manusia yang telah menjadi jalan kebaikan untuknya.
Suatu ketika, Abdullah Ibn Abbas yang masih kanak-kanak menyiapkan air wudhu untuk Rasulullah saw. Rasulullah menanggapinya dengan perasaan senang. Kemudian, Rasulullah berterima kasih sembari mengusap kepala Abdullah Ibnu Abbas dan membalas kebaikannya dengan mendoakan, Ya Allah, faqihkanlah ia dalam ilmu agama, dan ajarilah ia tafsir kitab-Mu.
Allah pun mengabulkan doa Rasulullah tersebut, sehingga Abdulah ibn Abbas seiring tumbuh kembangnya menjadi remaja dan dewasa, ia tumbuh menjadi orang yang faqih dalam ilmu tafsir al-Quran juga ilmu-ilmu lain seperti ilmu fikih, bahasa Arab, ilmu waris dan menguasai syair-syair. Masya Allah!