Saudaraku, kefakiran bukan hanya diukur misalnya dengan rumah yang sederhana, bukan tampak pada kendaraan tua yang hanya roda dua, bukan tampak hanya pada menu makanan yang ala kadarnya. Karena sangat mungkin orang-orang yang berada dalam kondisi demikian justru memiliki hati yang tenang, jiwa yang merdeka dan bahagia karena merasa cukup dengan apa yang ada.
Boleh jadi pada pandangan orang lain, mereka ini tidak beruntung. Tapi, hakikatnya merekalah orang yang kaya dan berkecukupan. Sebaliknya, manakala kita melihat seseorang punya rumah yang megah, kendaraan yang mewah, pakaian yang indah, namun hatinya sempit dan jiwanya terkekang. Mengapa? Karena ternyata harta berlimpah yang ia miliki tidak pernah cukup menutupi segala kebutuhannya, belum lagi utang yang banyak dan sulit dilunasi.
Oleh karena itu, yang terpenting bukanlah terletak pada banyak atau sedikitnya harta, yang terpenting adalah apakah harta yang kita miliki itu mencukupi atau tidak. Tidak masalah jika rumah kita masih ngontrak, namun kebutuhan kita tercukupi. Tidak masalah jika kita tidak punya kendaraan pribadi, namun urusan kita lancar.
Saudaraku, jika kita sedang berada dalam episode keterbatasan harta, maka itu tidak membahayakan selama kita bersyukur. Karena syukur adalah pengundang karunia Allah yang belum datang kepada kita. Allah SWT berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7). (Inilah)