Jika kita berkaca pada jaman Rasulullah saw, suap dan korupsi telah ada dan pernah terjadi. Saat itu Rasulullah menugaskan Ibnu Luthbiyah, salah seorang dari suku Azdi untuk menghimpun zakat. Ketika menghadap Rasulullah, ia menyerahkan sebagian harta itu, dan sebagian yang lain tidak diserahkan. Ia berkata: “(Harta) ini untuk engkau (zakat), dan yang ini dihadiahkan buatku.“
Lalu Rasulullah SAW bersabda: Mengapa kamu tidak duduk di rumah ayahmu atau ibumu saja, lalu menunggu kamu diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang darimu mengambil sedikit pun dari (hadiah) itu, kecuali akan dia pikul nanti pada hari kiamat di lehernya, jika (hadiah) itu unta, maka dia (memikul unta) yang bersuara, jika (hadiah) itu sapi, maka (dia memikul sapi) yang bersuara, jika (hadiah) itu kambing, maka dia (memikul kambing) yang mengembik.” (HR. Bukhari).
Hukum suap atau risywah adalah haram. Baik bagi orang yang menyuap maupun orang yang menerima suap. Adapun dalil dari Al-Quran adalah firman Allah SWT: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 188).
Larangan Allah yang bersifat umum dalam ayat itu juga termasuk suap. Karena suap adalah cara yang batil. Memakan harta suap termasuk dilarang oleh Allah SWT.
Suap selamanya haram kecuali untuk mengembalikan hak. Itu pun bagi yang memberi suap karena alasan yang pasti dan jelas. Sedangkan bagi pihak yang menerimanya tetap haram. Contoh, seseorang sudah diterima menjadi karyawan. Namun SK-nya tidak diberikan oleh seorang pejabat. Pejabat ini akan tetap menahan SK selama tidak mendapatkan pemberian tertentu. Di sini boleh bagi karyawan yang diterima tadi untuk memenuhi permintaan pejabat (karena terpaksa). Namun bagi pejabat, pemberian itu tetap haram baginya.
Beberapa dalil yang menunjukkan ini diperbolehkan adalah apa yang dilakukan Ibnu Masud ketika beliau berada di Habasyah. Beliau tidak diperbolehkan lewat, padahal beliau berhak lewat jalan itu. Ternyata penjaganya meminta disuap. Maka Ibnu Masud memberikan dua dinar supaya diperbolehkan lewat. Beliau berkata, “Dosanya hanya untuk yang mengambil, bukan yang memberi.”
Jabir bin Zaid, Syabi, Atha dan Ibrahim An-Nakhai, mereka berpendapat, “Tidak mengapa seseorang memberikan suap untuk membela diri dan hartanya jika dia takut perbuatan zhalim menimpanya.” Demikian pula banyak atsar (contoh) para tabiin yang memperbolehkan hal ini.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil.” (QS. An-Nisa [4]: 29).
Sedangkan korupsi adalah memakan harta dengan cara yang paling bathil. Tentu tingkat keharamannya lebih besar dari mencuri.
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah [5]: 38).
Jika mencuri hukumannya adalah potong tangan, korupsi juga mendapatkan ancaman serupa, bahkan lebih berat. Ini karena begitu besar dosanya. Para koruptor tidak hanya menzalimi jutaan rupiah tetapi sampai miliaran bahkan triliunan rupiah. Jadi bahwa suap dan korupsi merupakan hal yang haram dalam Islam dan dosanya amat besar di sisi Allah. Semoga kita mendapat hidayah-Nya agar terhindar dari suap, baik menyuap maupun menerima suap, termasuk juga korupsi. (inilah)