Perumpamaan lainnya, kita pasti ingin sehat dan orang lain pun di seluruh dunia pasti menginginkan sehat. Jika semua terkabul sehat seluruhnya, apa yang terjadi? Dokter tak lagi memiliki pasien, rumah sakit seketika sepi, apotik, toko obat tak laku, pabrik obat akan bangkrut, para penyuplai bahan obat-obatan kehilangan mata pencaharian, fakultas kedokteran, keperawatan , farmasi pun tutup. Demikian pula beragam pendukung sarana kesehatan menjadi kehilangan pasar. Dahsyat sekali dampaknya. Maka, sakit sesungguhnya bukan masalah. Ada pun yang menjadi masalah adalah saat kita salah menyikapi sakit, atau pun salah menyikapi sehat.
Hal yang baik menurut kita, belum tentu baik menurut Allah. Karena terkadang pengetahuan kita, plus hawa nafsu sering membuat kita tergesa-gesa. Kita pun menjadi kurang jeli melihat kebenaran. Begitu pula yang buruk menurut kita, bisa jadi adalah yang terbaik menurut Allah yang Mahatahu segalanya.
Sebagaimana Allah SWT berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 216).
Sesungguhnya tugas kita bukanlah mengatur Allah SWT. Yakni mengatur agar setiap kehendak-Nya sesuai dengan keinginan kita. Tugas kita adalah meluruskan niat, sehingga niat dan keinginan kita lurus karena Allah semata.
Tugas kita pun kemudian menyempurnakan ikhtiar di jalan yang Allah sukai. Lalu, pasrahkan sepenuhnya. Bertawakal kepada Dzat Yang Mahatahu segalanya, yang tidak pernah mengecewakan hamba yang bertawakal kepada-Nya.
Jika itu sudah ditempuh, maka selesailah tugas kita. Apa pun yang kemudian terjadi, insya Allah adalah sebaik-baiknya takdir. Jika cocok dengan harapan, maka penuh keberkahan. Jika tidak cocok, maka Allah akan melapangkan hati kita untuk menerimanya. Kita pun tidak akan merasa perih atau menderita, malah semakin bersyukur karena yakin pilihan Allah itu pasti yang terbaik. (inilah)