Sedangkan kekurangan agamanya karena ketika haid dan nifas seorang wanita meninggalkan salat dan puasa serta tidak mengqadha salatnya. Ini merupakan kekurangan agama. Akan tetapi kekurangan ini tidak mendapat sanksi, karena merupakan kekurangan yang berasal dari ketetapan Allah Subhanahu wa Taala. Dia-lah yang mengaturnya sebagai kasih sayang dan keringanan kepadanya. Karena apabila ia diwajibkan berpuasa ketika sedang haid dan nifas, maka hal itu akan membahayakannya. Karena kasih sayang Allah kepadanya, maka ia diperbolehkan untuk meninggalkan puasa ketika haid dan nifas, kemudian mengqadhanya setelah selesai dari haid dan nifas.
Mengenai salat, ketika sedang haid, ia memiliki sesuatu yang menghalanginya dari bersuci. Karena rahmat Allah Subhanahu wa Taala ia diperbolehkan meninggalkan salat, demikian pula pada saat nifas. Kemudian Allah mensyariatkan baginya untuk tidak mengqadhanya, karena ada kesulitan yang besar dalam mengqadha. Salat dikerjakan berkali-kali dalam sehari lima kali, sedangkan haid kadang memanjang sampai berhari-hari hingga tujuh hari, delapan hari atau lebih. Nifas kadang sampai empat puluh hari. Karena rahmat Allah dan kebaikanNya maka dijauhkan darinya kewajiban untuk melaksanakannya maupun mengqadha.
Tapi ini bukan berarti merupakan kekurangan akal dalam segala hal atau kurang agama dalam segala hal. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menerangkan bahwa kekurangan akalnya terjadi pada sisi ketidaktepatan dalam persaksian dan kekurangan agamanya terjadi pada kondisinya yang senantiasa meninggalkan salat dan puasa ketika haid dan nifas. Ini bukan berarti wanita senantiasa berada di bawah pria dalam segala sesuatu dan pria selalu lebih utama dari wanita. Memang, jenis kelamin laki-laki lebih utama dari wanita secara umum karena beberapa sebab, seperti yang difirmankan.