Eramuslim – Ajaran Islam tidak selalu berisikan hubungan ketuhanan atau hablun minallah saja, tetapi inti beragama adalah praktek syariat yang bernilai kemanusiaan yang disebut hablun minannas.
Aspek kemanusiaanlah yang paling dominan atas diperintahkannya seluruh perintah-perintah dan larangan-larangan dalam agama. Praktek ibadah selalu mencakup apakah bermakna bagi makhluk Tuhan atas praktek itu atau sekedar melaksanakan kewajiban kepada-Nya dengan nilai hampa yang nol untuk kemanusiaan.
Shalat, puasa, zakat, dan haji yang didukung oleh komitmen hati yang disebut dengan syahadat mesti berfaedah dan bernilai bagi aspek kemaslahatan manusia. Shalat misalnya seharusnya tanha anil fahsyai walmunkar (mencegah dan menjauhkan manusia dari praktek-praktek kejahatan), entah itu indisipliner, kolusi, dan korupsi, rakus dalam kepemilikan. Shalat bukanlah vertikal semata kepadaNya tetapi hubungan horizontal kepada ciptaanNya.
Demikian pula puasa. Puasa tidak sekadar menahan lapar dan dahaga. Puasa bernilai lebih dari itu. Ia adalah momentum introspeksi diri dan uji kesabaran, memelihara kesehatan, serta harapan munculnya empati sosial.
Praktek beragama yang berlangsung sepanjang hidup kadang menjauhkan manusia dari nilai agama. Religiusitas sangat tampak pada bulan Ramadhan. Orang berlomba-lomba meramaikan masjid, kantor-kantor dan organisasi-organisasi ramai dengan kultum (kuliah tujuh menit) entah kultum dzuhur maupun kultum menjelang buka puasa yang juga diiringi dengan bersedekah menjamu orang-orang lapar dengan suguhan bukan puasa.
Ibu-ibu PKK, Dharmawanita, majelis taklim semarak dengan tarling (tarwih Keliling)nya dan program berbagi keringanan dengan belanja murah sembako. Seakan ingin memanen pahala yang sebanyak-banyaknya dalam bulan Ramadhan.
Semangat ini patut diapresiasi. Kalaupun ramadhan tahun ini tidak seramai dengan tahun-tahun sebelumnya itu karena masih pandemi Covid 19. Para orientalis dan peneliti Islam yang non muslim sangat tertarik meneliti fenomena semarak beragama umat Islam Indonesia.