“Jangan bersahabat orang bodoh. Berhati-hati dan jauhlah darinya. Banyak orang bodoh binasakan. Orang baik dikala berkawan dia. Manusia diukur dengan manusia. Apabila sedang berjalan bersama satu benda dengan benda lainnya memiliki ukuran dan mirip serupa. Satu Hati dengan hati lainnya. Jadi petunjuk di saat berjumpa.”
Bagaimana pun juga, kata Imam al-Ghazali, orang bodoh akan membahayakan dirimu meski dia bermaksud menolong. Sebagian ulama bersyair. “Sungguh aku aman dari musuh yang berakal Tapi takut dari teman yang diliputi kegilaan. Satu macam akal, kutahu dan kujaga jalannya. Sedang kegilaan bermacam-macam jalannya.”
Oleh karena itu, ada yang sampai berkata bahwa memutus persahabatan dengan orang bodoh merupakan ibadah mendekatkan diri kepada Allah. Begitu juga, tidak ada gunanya bersahabat dengan orang fasik karena orang yang takut kepada Allah tidak akan terus-menerus berada dalam dosa besar seperti orang fasik, sedangkan orang yang tidak takut kepada Allah, tidak akan aman dari kejelekannya.
Allah SWT berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 28:
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan janganlah engkau mengikuti orang-orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas..”
Menurut Imam Ghazali watak dan tabiat seseorang dapat dipengaruhi karakter orang lain tanpa disadari. Demikian pula berteman dengan ahli bidah, tidak ada faedahnya.
Terkait akhlak mulia, Alqamah, telah menghimpunnya dalam wasiat yang dia sampaikan kepada anaknya pada detik-detik menghembuskan nafas terakhir.
Alqamah, mengatakan, “Wahai anakku jika terlintas dalam hatimu keinginan untuk bersahabat dengan seseorang, maka berkawanlah dengan orang yang menjagamu ketika kamu melayaninya, yang memperindahmu apabila kamu berteman dengannya, dan yang membiayaimu jika kamu membutuhkan biaya! Bertemanlah dengan orang yang ketika kamu mengeluarkan tangan kebaikan maka dia menyambutnya, Jika dia melihat satu kebaikan pada dirimu maka dia mengapresiasinya. Dan bila dia melihat satu keburukan pada dirimu maka dia menutupinya! Bertemanlah dengan orang-orang yang memberimu ketika kamu memintanya, Yang mengajak bicara saat kamu diam. Dan yang melipurmu aewaktu kamu tertimpa musibah!
Berkawanlah dengan orang yang membenarkan ucapanmu. Jika kamu bicara, dia mendukungmu. Bila kamu berusaha dan yang mengalah jika kalian berdua berselisih!”
Ali bin Abi Thalib RA juga berkata, “Sahabat sejati ialah dia yang selalu bersamamu. Yang rela berkorban demi dapat menolongmu. Dan orang yang senantiasa berdiri di dekatmu, apabila masa kacau datang menghantam.”
Imam Al-Ghazali mengisahkan, pada masa generasi salaf ada seseorang selalu mengunjungi keluarga dan anak-anak sahabatnya yang telah meninggal 40 tahun lalu. Dia senantiasa memenuhi kebutuhan mereka, mendatangi mereka setiap hari dan membiayai mereka dengan hartanya sendiri.
Hingga keluarga itu merasa hanya kehilangan fisik ayah mereka saja. Bahkan mereka melihat pada diri sahabat ayahnya itu sesuatu yang tidak ada pada diri ayah mereka semasa hidupnya. Lebih baik lagi apabila orang yang akan dijadikan teman itu selain memiliki sifat warok, juga adalah orang yang alim supaya dia dapat mengambil manfaat dari ilmu.
Luqman pernah mengatakan, “Wahai anakku, bertemanlah dengan ulama dan merapat lah ke mereka dengan kedua lutut! Karena hati senantiasa hidup dengan hikmah sebagaimana tanah tandus kembali segar dengan curahan air hujan.” (rol)