Eramuslim – Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali merupakan seorang ulama besar dari abad ke-11. Tokoh yang berkebangsaan Persia itu dijuluki sebagai Hujjatul Islam, ‘sang pembela Islam’.
Sebab, kiprahnya di sepanjang hayat diakui luas telah membela akidah agama ini. Karya-karyanya pun begitu banyak dijadikan rujukan sehingga menginspirasi bagi generasi berikutnya.
Alim kelahiran 1058 itu mencapai puncak kariernya di Madrasah an-Nidzamiyah, Baghdad. Namun, ia sempat mengalami krisis sehingga memutuskan untuk pergi berkelana. Sang imam bermazhab Syafii itu kemudian memilih jalan sufi untuk mencapai ketenteraman hidup. Dalam masa inilah, begitu banyak petuah-petuah penuh hikmah yang dituliskannya.
Sebagai guru, ia kerap memberikan petuah melalui pengajuan pertanyaan. Seperti dikisahkan dalam kitab Khuluq al-Muslim. Suatu kali, Imam al-Ghazali bertanya kepada murid-muridnya mengenai perkara-perkara luar biasa, tetapi acap kali dianggap biasa oleh kebanyakan orang.
Dalam kesempatan ini, ia membahas dua pertanyaan, yakni sesuatu apakah yang paling dekat dengan diri manusia. Sebaliknya, apa pula yang paling jauh bagi manusia. Beberapa saat kemudian, para muridnya berupaya untuk menjawabnya.
Ada yang mengatakan, hal yang paling dekat dengan seorang manusia adalah kedua orang tuanya. Beberapa murid lainnya berpendapat, yang terdekat adalah guru, sahabat, atau karib kerabat.
Sang Imam menghargai semua jawaban itu meskipun tidak sesuai dengan harapannya. Kemudian, ia berkata, “Yang paling dekat dengan diri kita adalah kematian.”