Basri adalah seorang pengusaha sukses di kotanya. Tahun itu ia mengajak semua anggota keluarganya untuk melakukan ibadah haji, termasuk Andi anaknya. Hari itu adalah tanggal 5 Dzul Hijjah. Kondisi Masjidil Haram hari itu sudah amat penuh. Mereka sekeluarga dan rombongan dari sebuah travel di Jakarta tengah melakukan thawaf umrah.
Usai berthawaf tujuh kali, Basri, Andi dan keluarganya menyempatkan untuk minum air zamzam dari keran-keran yang telah disediakan. Di sana, Basri memberitahukan kepada Andi yang bermata minus untuk mengusapkan matanya dengan air zamzam seraya berdoa agar diberi kesembuhan atas matanya.
Mendengar nasehat itu, Andi pun melakukannya. Selain ia ingin sembuh dari mata yang minus, ia pun sudah lelah dengan kaca dan besi yang menggantung di sekitar wajahnya.
Maka sungguh, begitu ia usai berdoa dengan khusyuk dan mengusapkan air zamzam pada matanya, maka sedikit demi sedikit matanya sudah mulai terang tak ubahnya sebuah kamera yang baru saja menemukan fokusnya. Andi begitu gembira, seolah tak percaya ia gunakan kacamata yang ia punya. Benar saja, begitu kacamata di pasang maka pandangan menjadi rabun, namun saat dilepaskan maka begitu jelas pandangan terlihat. Andi bersyukur kepada Allah Swt atas anugerah ini, namun ia belum menceritakannya kepada Basri ayahnya. Selepas itu mereka pun hendak melakukan sa’i antara bukit Shafa dan Marwa.
Sebab ia pernah melakukan haji dan umrah berkali-kali, Basri mengusulkan kepada keluarganya untuk melakukan sa’i secara terpisah dari rombongan dan mengambil lokasi di lantai 2 masjid. Maka seluruh anggota keluarga pun menyetujui.
Jutaan manusia saat itu berada di dalam masjid. Mencari celah untuk berjalan pun sulit sekali. Padahal untuk naik ke lantai 2, banyak sekali anak tangga yang harus dilalui. Namun enam orang anak-beranak ini tidak mengurungkan niat mereka untuk mencapai lantai 2 masjid dan bersa’i di sana.
Mengingat sesak dan penuhnya orang yang berkerumun, Basri meminta istri dan 3 orang putrinya untuk menaiki tangga terlebih dahulu. Sementara ia dan Andi berjalan di belakang demi menjaga keamanan.
Satu putaran anak tangga sudah dilalui, padahal masih ada 3 putaran lagi yang harus dilalui untuk tiba di lantai 2. Pada pemberhentian pertama anak tangga itu, sungguh Ka’bah amat begitu cantik terlihat.
Basri menunjuk ke arah Ka’bah sambil berkata kepada Andi, “Lihat tuh…, Ka’bah indah betul!” Meski dari jarak kurang lebih 100 meter, Andi dapat melihat dengan jelas Ka’bah tanpa harus mengenakan kacamata. Bahkan tulisan kaligrafinya pun terlihat jelas oleh kedua matanya. Andi semakin bertambah yakin bahwa kedua matanya telah pulih.
Namun setelah melihat Ka’bah, Basri menggoda Andi untuk melihat pemandangan selanjutnya, “Nak… tuh lihat di sebelah sana, perempuan Turki cantik-cantik ya? Putih, mancung, tinggi lagi….!” Andi pun penasaran dengan ucapan ayahnya, maka Andi pun mencari titik dimana jari ayahnya menunjuk.
Benar saja, di sana terlihat seorang wanita Turki sedang duduk sambil menatap Ka’bah. Wanita tersebut sungguh cantik sehingga memikat pandangan 2 orang anak-beranak ini.
Namun sayang, keduanya lupa bahwa mereka tengah berada di rumah Allah Swt.
Maka serta-merta, pandangan yang tadinya begitu jelas dirasakan Andi, kini perlahan menjadi pudar dan semakin buram. Andi merasakan hal itu sedikit demi sedikit, ia beristighfar di dalam hati agar Allah Swt tidak menjadikan matanya minus lagi. Namun sayang, ia telah berbuat maksiat di rumah Allah Swt, meskipun hanya memandang ke seorang wanita, yang itu sering kali ia perbuat di tanah air.
Andi pun menangis menitikkan air mata, sementara ayahnya tak mengerti kenapa anaknya menangis.
Dari Abu Hurairah Ra dari Nabi Saw yang bersabda, “Dituliskan atas keturunan Adam bagiannya dari zina yang tidak mungkin dapat ia hindari. Kedua mata, zinanya adalah pandangan. Kedua telinga, zinanya adalah mendengar. Lisan, zinanya adalah berbicara. Tangan, zinanya adalah memegang. Kaki, zinanya adalah melangkah. Hati, zinanya adalah berhasrat dan berkhayal. Kesemuanya ini hanya tinggal didukung oleh kemaluannya, atau malah ditinggalkannya.” Hadits Muttafaq Alaih.
– Ustadz Bobby Herwibowo –