Tafakur

Hiruk pikuk kehidupan selama sebelas bulan dalam putaran satu tahun, seperti memenjara kita dalam ruang sempit yang dikuasai nafsu dan syahwat.

Keterbatasan daya nilai manusia kadang membimbingnya pada kesimpulan yang salah. Sesuatu yang dianggap bernilai, ternyata hanya biasa saja.

Dalam hidup kekinian yang kian mengungkung siapa pun dalam pengapnya racun materialisme, orang kerap tertipu dalam bahasa-bahasa permisif yang menghalalkan segala cara.

Subjektivitas diri seseorang, terlebih lagi seorang pemimpin, biasanya ingin mendapatkan sebuah bayangan cermin sosial dari orang-orang di sekelilingnya bahwa ia seorang yang punya gagasan besar.

Kebersamaan dalam sebuah wadah, apakah itu perusahaan, organisasi, dan rumah tangga; tidak cukup hanya meletakkan pandangan dari sudut diri sendiri.

Begitu banyak pelajaran bertebaran dalam dinamika alam raya ini. Ada yang mudah ditafsirkan, dan tidak sedikit yang butuh perenungan.

Tidak banyak pemimpin yang mampu menimbang dengan adil antara keinginan dan obsesinya yang begitu tinggi dengan kemampuan yang dimiliki orang-orang yang dipimpinnya.

Sungguh sebuah kebahagiaan hidup ketika seseorang memahami betul apa yang mesti dipersiapkan untuk menghadapi tamu spesial yang akan ia temui esok.

Pengalaman hidup ini mengajarkan kepada kita bahwa setinggi apa pun posisi yang bisa diraih, tidak akan menjadi jaminan bahwa kita tidak akan pernah jatuh.