Eramuslim – PADA suatu hari, Syaqiq al-Balkhi -beliau termasuk salah seorang dokter hati– berkata kepada muridnya, Hatim al-Asham, “Apa yang telah engkau pelajari dariku sejak menyertaiku?”
Hatim al-Asham menjawab, “Ada enam hal: Pertama, saya melihat orang-orang masih ragu mengenai rezeki. Tidak ada di antara mereka melainkan kikir terhadap harta yang ada di sisinya dan tamak terhadap hartanya. Lantas saya bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Taala berdasarkan firman-Nya:
“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.” (QS. Hud: 6)
Karena saya termasuk makhluk bergerak, maka saya tidak peru menyibukkan hatiku dengan sesuatu yang telah dijamin oleh Dzat yang Maha Kuat dan Kokoh.” Beliau berkata, “Engkau benar.”
Kedua, saya memandang bahwa setiap orang mempunyai teman yang menjadi tempat baginya untuk membuka rahasia dan mencurahkan isi hatinya. Akan tetapi mereka tidak akan menyembunyikan rahasia dan tidak mampu melawan takdir. Oleh karena itu, yang saya jadikan sebagai teman ialah amal saleh agar dapat menjadi pertolongan bagiku pada saat dihisab, mengokohkanku di hadapan Allah Azza wa Jalla, serta menemaniku melewati shirath. Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”
Ketiga, saya memandang bahwa setiap orang mempunyai musuh. Lalu saya merenung. Ternyata orang yang menggunjingku bukanlah musuhku, bukan pula orang yang berbuat zalim kepadaku, dan bukan pula orang yang berbuat buruk kepadaku. Sebab, dia justru memberi hadiah kepadaku dengan amal-amal kebaikannya dan memikul perbuatan-perbuatan burukku. Akan tetapi, musuhku ialah sesuatu yang pada saat saya melakukan ketaatan kepada Allah, dia membujukku berbuat maksiat kepada-Nya. Hal tersebut adalah iblis, nafsu, dunia, dan keinginan. Oleh karena itu, saya menjadikan hal tersebut sebagai musuh, saya menjaga dirinya, dan saya mempersiapkan diri untuk memeranginya. Maka, saya tidak akan membiarkan salah satu dari semua itu mendekati saya.
Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”