Hal itu menunjukkan bahwa perbuatan maksiat ini bukanlah murtad, namun melemahkan iman dan menguranginya. Karena inilah, Allah subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan tadib (agar jera) dengan hukuman ini agar mereka bertaubat dan kembali kepada Rabb mereka dan berhenti melakukan yang diharamkan Rabb kepada mereka.
Mutazilah berkata, Sesungguhnya pelaku maksiat berada di suatu tempat di antara dua tempat, tetapi ia dikekalkan di neraka apabila mati sebelum bertobat.
Mereka menyalahi Ahlus Sunnah dan menyetujui kaum Khawarij dalam hal itu. Kedua kelompok tersebut telah tersesat dari jalan yang lurus. Yang benar adalah pendapat pertama, yaitu pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah. Yaitu, ia adalah pelaku maksiat yang lemah imannya dan berada dalam bahaya besar karena murka dan siksa Allah Subhanahu wa Taala. Akan tetapi ia tidak menjadi kafir yang besar, yaitu murtad dari Islam. Juga tidak kekal di neraka seperti kekalnya orang-orang kafir, apabila ia mati dalam melakukan salah satu dari maksiat itu.
Tetapi ia berada di bawah kehendak Allah subhanahu wa taala, jika Dia menghendaki, Dia mengampuninya. Dan jika Dia subhanahu wa taala menggendaki, Dia menyiksanya berdasarkan perbuatan maksiat yang dia mati dalam melakukannya, kemudian Dia subhanahu wa taalamengeluarkannya dari neraka. Tidak ada yang kekal selama-lamanya di sana selain rang-orang kafir. Kemudian setelah selesai siksa Allah subhanahu wa taala yang diberikan kepadanya, Allah subhanahu wa taala mengeluarkannya dari neraka ke surga. Ini adalah pendapat Ahluh Haq. Pendapat ini berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, berbeda dengan pendapat Khawarij dan Mutazilah, dan Allah subhanahu wa taala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [Qs. An-Nisa 48 dan 116]