“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir menerangkan kalimat, lain syakartum (jika kalian mensyukuri) dengan lanjutan nimat alaikum laazdannakum minh (nikmat-Ku kepada kalian, maka akan Kutambahkan nikmat-Ku kepada kalian). (Imam Ibnu Katsir, Tafsr al-Qurn al-Adhm, Riyad: Dar Tayyibah, 2002, juz 4, h. 480). Artinya, syukur dalam ayat di atas adalah mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang beragam bentuknya, tidak selalu soal harta benda. Hal ini diperkuat oleh penjelasan Tafsr al-Thabar:
Jika kalian bersyukur pada Tuhan kalian dengan ketaatan kepada-Nya atas apa yang diperintahkan-Nya dan apa yang dilarang-Nya kepada kalian, maka Dia akan menambah anugerah-anugerah-Nya di sisi kalian dan (menambah) nikmat-nikmat-Nya kepada kalian. (Imam Abu Jafar bin Jarir al-Thabari, Tafsr al-Thabari, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994, juz 4, h. 441)
Ini menunjukkan bahwa bersyukur kepada Allah harus ditampilkan dengan ketaatan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, maka Allah akan menambahkan anugerah dan nikmat-Nya. Dengan demikian, maka bisa dipahami alasan di balik perbedaan derajat kemuliaan atau keutamaan anak-cucu Adam. Karena sebagian dari mereka gemar mensyukuri nikmat Allah sehingga Allah terus menambah kemuliannya, dan sebagian lainnya malas mensyukuri nikmat Allah bahkan tidak sedikit yang mengkufurinya. Di sinilah awal mula terjadinya ketidak-samaan antar satu sama lainnya.
Karena itu Allah menjawab pertanyaan Adam dengan kalimat, Wahai Adam, sesungguhnya Aku sangat senang jika Aku disyukuri. Itu artinya, syukur kita kepada Allah bisa menjadi pembeda kedudukan kita di sisi-Nya, bahkan dengan cara yang paling sederhana sekalipun. Imam Ibrahim al-Nakhai (47-96 H) mengatakan: