Eramuslim – DALAM kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan sebuah riwayat tentang Nabi Adam yang bertanya kepada Allah tentang perbedaan kedudukan yang terjadi di antara anak-cucunya. Berikut riwayatnya:
Abdullah bercerita, ayahku bercerita, Abdus Shamad bercerita, Abu Hilal bercerita, Bakr bercerita kepada kita, ia berkata:
Ketika diperlihatkan kepada Adam alaihissalam (kehidupan) keturunannya (kelak), ia melihat keutamaan (yang dimiliki) sebagian mereka terhadap sebagian (lainnya).
Adam berkata: Wahai Tuhan, kenapa Kau tidak menyamakan di antara mereka (saja)?
Allah menjawab: Wahai Adam, sesungguhnya Aku sangat senang jika Aku disyukuri. (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 61)
Kelebihan atau keutamaan yang dimaksud bukan melulu soal kaya-miskin dan tampan-jelek, melainkan kelapangan hidup yang mengarah pada kebahagiaan abadi. Sebab, di posisi apa pun manusia berada, manusia memiliki masalahnya sendiri-sendiri, dan manusia memiliki kebahagiannya sendiri-sendiri. Belum tentu orang miskin lebih banyak masalahnya dari orang kaya. Begitu pun sebaliknya, belum tentu orang kaya lebih sedikit masalahnya dari orang miskin. Karena itu, jika keutamaan (kelebihan) yang dimaksud hanya soal kaya-miskin dan tampan-jelek, orang-orang hanya akan bersyukur ketika mendapatkan dua hal itu. Padahal Allah berfirman (QS. Ibrahim: 7):