Sesungguhnya di balik segala kemampuan yang ada pada setiap makhluq yang tersebar di alam semesta ini terdapat kekuasaan Allah SWT. Segala macam kemampuan makhluq, seperti kemampuan berbentuk, bergerak, berkembang, berbuah, berketurunan, bersifat, dan seterusnya, sebenarnya hanyalah pemberian dari Allah SWT semata. Bumi berbentuk bulat karena memang Allah SWT telah menghendakinya berbentuk bulat, bukan karena bumi itu sendiri yang berkehendak untuk menjadi bulat. Seperti halnya ketika ia berputar, yang mana itu pun juga bukan atas kekuasaannya sendiri, melainkan atas kekuasaan Allah SWT. Tak berbeda dengan jutaan bahkan milyaran benda langit lainnya, yang mana itu semua terbentuk, tergerak, tersebar, dan teratur dengan sifat masing-masing hanya atas kekuasaan Allah SWT, tanpa Allah SWT perlu melahirkan seorang anak untuk membantu-Nya dalam mengurus semua itu, padahal penciptaan langit dan segala isinya pun justru jauh lebih besar daripada penciptaan manusia. Maka betapa Maha Sucinya Allah SWT dari apa yang dikatakan oleh para penyembah Nabi Isa AS dan para penyembah selain Allah SWT lainnya. Semoga Allah SWT membuka hati mereka untuk dapat menerima kebenaran tauhid dalam Islam yang mana merupakan satu-satunya agama Allah SWT.
Dan jika perkara besar berupa langit dan segenap yang dikandungnya adalah diatur oleh Allah SWT, maka begitu juga dengan perkara manusia di bumi ini yang mana hanya merupakan bagian kecil dari alam semesta. Manusia terlahir di bumi ini bukan atas kehendaknya sendiri, bukan pula atas kekuasaan kedua orang tuanya, melainkan atas kehendak dan kekuasaan Allah SWT. Tiada manusia yang mampu menciptakan dirinya sendiri, membentuk fisiknya sendiri, atau memunculkan sifat dan karakternya sendiri, melainkan itu semua adalah atas kekuasaan Allah SWT. Jika memang manusia mampu menentukan sendiri ketentuan kelahirannya, bentuk fisiknya maupun sifat dan karakternya, tentu tiada manusia yang akan memilih terlahir dalam keluarga yang miskin, menjadi manusia berfisik jelek ataupun berkarakter lemah, melainkan ia pasti akan memilih yang baik-baik saja. Dan itulah kenyataan bahwa manusia pun pada hakikatnya juga tidak pernah sepenuhnya berkuasa atas dirinya sendiri.
Dan dari sinilah, kita seharusnya meyakini dengan sepenuh hati bahwa segala bentuk kemampuan dan sifat yang ada pada makhluq sesungguhnya hanyalah pemberian dari Allah SWT semata. Dan itulah mengapa kita orang-orang yang beriman diharuskan untuk selalu mengembalikan hakikat segala kemampuan kepada Allah SWT, sebagaimana dalam ungkapan “laa haula wa laa quwwata illaa billaah”, tiada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan izin dan kehendak Allah SWT. Pengakuan inilah yang merupakan nilai penting yang terlahir dari tauhid yang harus kita pegang erat-erat. Dan inilah yang akan membantu kita dalam mengelola suasana batin kita dalam segala bentuk keadaan. Ketika kita diuji dengan suatu keburukan, misalnya perlakuan kurang baik dari orang lain terhadap kita, maka kita akan dapat menenangkan suasana batin kita dengan mengakui bahwa sikap kurang baik tersebut memang tidak dihalangi oleh Allah SWT untuk sampai kepada kita, karena memang segala sesuatu hanya akan dapat terjadi dengan izin dan kehendak-Nya saja. Yang telah diizinkan sampai kepada kita akan pasti sampai kepada kita, tanpa ada yang bisa menghalanginya; dan yang telah dikehendaki luput dari kita akan pasti luput dari kita, tanpa ada yang bisa memaksakannya. Dan ini jugalah yang akan mempermudah kita dalam menyikapi dunia ini sesuai sifatnya yang hanya sebentar dan sementara, di mana kita akan sebentar saja dalam menyimpan rasa tentang sesuatu, tidak terlalu lama atau berlebihan dalam membenci dan tidak pula terlalu susah ketika kehilangan sesuatu yang kita sukai.
Dan ketika misalnya kita masih merasa berlebihan dalam membenci ataupun menyukai sesuatu, sehingga hati kita pun merasa terbebani dengan perasaan tersebut, maka saat itulah kita perlu memperkuat kembali ingatan kita tentang kekuasaan Allah SWT, bahwa sesuatu yang kita benci atau kita sukai tersebut pada hakikatnya juga hanyalah sama-sama makhluq lemah dan tak berdaya yang diciptakan oleh Allah SWT dengan kekuasaan-Nya. Semua yang ada pada makhluq lain, termasuk pada diri kita sendiri, pada hakikatnya hanyalah pemberian dari Allah SWT semata, dan bukan dimunculkan oleh makhluq itu sendiri ataupun hasil kerja keras kita sendiri. Hidayah iman hanyalah pemberian, kekuatan fisik maupun non-fisik hanyalah pemberian, pengetahuan hanyalah pemberian, harta kekayaan juga hanyalah pemberian, dan segala macam nikmat lainnya, baik yang tampak maupun tidak tampak, pada hakikatnya juga hanyalah pemberian dari Allah SWT semata. Sehingga dengan mengingat kembali kenyataan tersebut, kita akan tak perlu sampai berlebihan dalam menggantungkan perasaan kita tentang makhluq lainnya ataupun tentang diri kita sendiri, karena memang di balik segala nikmat tersebut hanyalah kekuasaan Allah SWT. Membenci akan menjadi sewajarnya, dan menyukai pun juga akan demikian.
Dan kita pun akan menyadari bahwa yang paling patut untuk diingat melebihi apapun di dunia yang sebentar ini hanyalah Allah SWT. Dan justru kecenderungan mengingat dunialah yang sebenarnya sering menjadikan kita kurang rela atau keberatan ketika dunia ini berada di tangan orang lain, seperti ketika kita iri terhadap orang yang kaya harta dan materi, yang memiliki banyak kendaraan, rumah, perusahaan, dan seterusnya, hingga kita pun tampak lebih cenderung memikirkan kemudahan orang lain daripada memikirkan Dzat di balik kemudahan orang lain tersebut, yaitu Allah SWT. Semestinya, ketika misalnya kita menyaksikan suatu fenomena tentang keberuntungan manusia, kita akan ingat bahwa memang Allah SWT telah mengizinkannya untuk menjadi beruntung, sehingga kita pun akan tak sampai terbebani dengan perasaan-perasaan negatif yang mengganggu batin kita sendiri, baik perasaan negatif terhadap orang tersebut ataupun terhadap nasib yang telah ditentukan oleh Allah SWT atas diri kita sendiri.
Dan jikapun misalnya kita memang mendapati sosok yang membuat hati kita tidak nyaman karena sikap dan perbuatannya, misalnya sosok yang kita sangka sebagai pecinta dunia yang tampak memanfaatkan maslahat umum untuk kepentingan dirinya sendiri, memakan harta haram menggunakan agamanya, menjual akhiratnya demi kesenangan duniawi, memakai hijab atau cadar namun tidak bercadar hatinya, dan seterusnya, maka sebaiknyalah kita doakan saja semoga Allah SWT segera memberikan hidayah kepada orang tersebut, dan kita tak perlu sampai memperbanyak prasangka atau hingga mengumumkan prasangka tersebut yang akan justru memperkeruh hati kita sendiri dan orang lain, sehingga menjadikan kita berdosa tanpa sadar, karena bagaimanapun juga, hati adalah tempat bagi iman yang tentunya harus selalu dijaga agar tidak tercemari. Dan kita juga tak perlu sampai cenderung mendambakan nasib seperti nasib pecinta dunia tersebut, karena hidayah iman dan Islam yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada kita juga sudah cukup untuk membuat kita bersyukur. Justru rasa iri dan benci yang berlebihan terhadap para pecinta dunia itulah yang akan bisa jadi menggolongkan kita ke dalam kelompok mereka, karena nyatanya hati kita tampak cenderung mengingat-ingat dunia yang ada di tangan mereka, dan kurang memperhatikan dunia kita sendiri yang sebenarnya juga sudah terdapat cukup banyak nikmat di dalamnya.
Maka sebaiknyalah kita lebih memperbanyak rasa syukur kita, dan juga rasa sabar, sambil menjauhi kecenderungan membanding-bandingkan nasib. Dan biarkanlah para pecinta dunia itu menghabiskan seisi dunia ini, karena mereka pun juga tak akan pernah sanggup menghabiskannya. Dan mereka pun juga tak akan sampai hidup kekal di dunia ini. Tiada yang akan bernafas selamanya di sini. Dan tiada yang akan dapat membawa sepeser pun kekayaan dunia ketika kematian datang menjemput. Maka biarkanlah mereka berbuat dengan cara mereka, dan kita tetap berbuat dengan cara kita sendiri. Sebaiknyalah kita segera mengingat Allah SWT, menjernihkan hati dan sikap kita, sambil mengembalikan segala kemampuan makhluq Allah SWT kepada Allah SWT sendiri, agar terhapus segala perasaan negatif yang berlebihan yang justru membuat hidup kita serba tidak nyaman, kurang bersyukur, dan bahkan tergerus dosa tanpa kita menyadarinya.
Namun bagaimanapun juga, pada hakikatnya, kemampuan untuk mengingat Allah SWT pun juga sebenarnya hanyalah pemberian dari Allah SWT sendiri, dan bukan atas usaha hamba-Nya. Semuanya hanyalah dari dan milik Allah SWT semata. Maka semoga Allah SWT menganugerahi kita kecenderungan kepada-Nya melebihi kecenderungan kita kepada makhluq-Nya.
Dan satu contoh permasalahan lain dari kecenderungan yang berlebihan terhadap makhluq Allah SWT adalah seperti berdoa meminta sesuatu, baik keselamatan, berkah, ataupun suatu manfaat, langsung kepada orang yang telah mati di kuburannya, seperti Wali Songo, para ulama kita, dan seterusnya. Atau juga seperti meminta syafa’at langsung kepada Rasulullah SAW di kuburan beliau, padahal syafa’at itu hanyalah milik Allah SWT, yang memang akan menjadi keutamaan Rasulullah SAW di akhirat kelak, namun pastinya hanya dengan izin Allah SWT, dan tentu cara memperoleh syafa’at tersebut pun bukanlah dengan berdoa langsung meminta kepada beliau yang bahkan sudah tidak mampu lagi berbicara kepada kita ataupun mendengarkan suara kita, melainkan cara memperolehnya adalah dengan mengamalkan nilai-nilai penting yang telah beliau wariskan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, sesuai kesanggupan kita.
Rasulullah SAW hanyalah perantara syafa’at dari Allah SWT, dan bukan pemilik syafa’at itu sendiri. Dan berdoa langsung kepada beliau adalah bentuk syirik yang dibenci Allah SWT, sebagaimana doa orang-orang Nasrani kepada Nabi Isa AS. Ketika Rasulullah SAW masih hidup sekalipun, ummat Islam hanya bisa memohon agar didoakan oleh beliau, dan bukan langsung berdoa kepada beliau seakan-akan beliau mampu mengabulkan doa. Dan jika saat masih hidup saja beliau tidak pernah mampu mengabulkan doa, maka terlebih lagi ketika beliau telah tiada. Tentu tidak mungkin orang yang telah wafat ternyata lebih mampu daripada ketika ia masih hidup. Jika memang demikian, tentu setiap orang akan memilih untuk wafat saat ini juga, agar ia menjadi lebih mampu dari sebelumnya. Sesungguhnya, hanya Allah SWT sajalah yang dapat mengabulkan doa. Dan hanya Dialah yang memberikan syafa’at kepada hamba-hamba-Nya melalui siapa saja yang Dia kehendaki. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Tidak ada bagi kalian selain daripada-Nya seorang penolong pun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa’at.” (As-Sajdah: 4)
“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah kecuali dengan izin-Nya.” (Al-Baqarah: 255)
Demikianlah mungkin perkara penting yang harus kita ingat, bahwa sesungguhnya hanya dari dan milik Allah SWT sajalah segala bentuk pertolongan, kekuatan, kemampuan, pengetahuan, kekayaan, dan segala bentuk kebaikan lainnya. Semua bentuk nikmat yang ada pada diri kita sesungguhnya hanyalah anugerah Allah SWT, dan bukan semata-mata hasil jerih payah kita sendiri. Memang, segala bentuk kebaikan akan memiliki sarana sebab-akibat tertentu yang harus kita tempuh untuk dapat mencapai kebaikan tersebut, namun kita harus ingat bahwa Allah SWT-lah yang telah menciptakan sarana sebab-akibat tersebut. Sehingga ketika seorang pedagang menjadi kaya karena usaha dagangnya, maka sebenarnya hanya Allah SWT-lah yang telah menjadikannya kaya, yaitu dengan cara menjadikannya bekerja keras dalam usaha dagangnya tersebut; seperti ketika Allah SWT menahan burung-burung di udara dengan cara menjadikan mereka terbang dengan sayap-sayapnya. Intinya, kita diharuskan untuk selalu mengakui bahwa segala bentuk nikmat yang ada di dunia ini sebenarnya hanyalah anugerah dari Allah SWT.
Namun di luar itu semuanya, terkadang, kita mungkin juga sangat mengkhawatirkan keadaan batin kita di saat Allah SWT menguji kita dengan suatu anugerah-Nya, di mana kita takut jika sampai muncul perasaan sombong atau yang semacamnya dalam diri kita. Tapi sebenarnya, perasaan khawatir semacam itu adalah sangat manusiawi dan wajar, karena memang manusia diciptakan dengan keadaan yang sangat lemah. Kita benar-benar lemah dan tak berdaya jika harus menghindari sifat sombong hanya dengan bersandar pada diri kita sendiri, karena kesombongan adalah bahaya yang besar, sedangkan kita hanyalah makhluq lemah dengan kemampuan yang kecil. Maka solusi yang selalu tepat untuk menghindari segala bahaya, baik yang kecil maupun yang besar seperti kesombongan dan yang semacamnya, yaitu adalah dengan bertawakkal dan berlindung kepada Allah SWT. Itulah mengapa kita diperintahkan agar berlindung kepada Allah SWT dari segala keburukan makhluq-Nya, temasuk keburukan diri kita sendiri dan keburukan perbuatan kita. Hanya kepada Allah SWT sajalah kita bertawakkal dan berlindung dari segala keburukan batin kita sendiri.
Namun di samping itu, ternyata dalam sebuah riwayat hadits terdapat penjelasan yang tersendiri tentang hakikat kesombongan, di mana arti yang sesungguhnya dari kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Kesombongan di sini bukanlah ketika seseorang yang berharta ‘menyadari’ kelebihan hartanya di atas orang lain yang tak mampu, untuk diberikan sebagiannya kepada orang yang tidak mampu tersebut; bukan pula ketika seseorang yang utuh anggota tubuhnya ‘menyadari’ keutuhan fisiknya, untuk digunakan menolong orang yang lemah atau cacat fisik. Kesombongan adalah misalnya ketika orang yang kaya sengaja menolak kebenaran hanya karena itu disampaikan oleh orang yang miskin, dan juga sikap merendahkan orang-orang yang miskin; juga ketika orang yang kuat fisiknya sengaja menolak kebenaran hanya karena kebenaran itu disampaikan oleh orang yang lemah fisiknya, dan juga ketika dia merendahkan orang-orang yang lemah. Imam Muslim meriwayatkan hadits tentang hal tersebut sebagaimana yang artinya berikut ini:
“Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (Riwayat Muslim)
Demikianlah mungkin beberapa hal penting yang perlu untuk kita ingat kembali, bahwa segala bentuk kebenaran dan kebaikan pada hakikatnya hanyalah milik Allah SWT, dan bahwa kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.
Dan sesungguhnya, kebenaran yang telah disampaikan oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an tidak akan pernah bisa dipengaruhi oleh prasangka. Prasangka adalah prasangka, sedangkan kebenaran adalah kebenaran untuk seterusnya. Maka seharusnyalah kita menjadikan warisan Rasulullah SAW, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagai sumber utama kebenaran dalam hidup kita, dan bukan justru menjadikan prasangka sebagai sumber dalam menilai kebenaran. Jika kita mengikuti kebenaran, maka kita pun akan bertemu sendiri dengan orang-orang yang juga sedang mencari kebenaran. Dan janganlah kita terlalu fanatik mengikuti orang yang benar, atau terlalu fanatik membenci orang yang salah, karena setiap orang dari kita hanyalah sisa-sisa ummat Muhammad SAW yang bisa benar dan bisa salah. Karena ketika kita terlalu fanatik mengikuti orang yang benar, bisa jadi kita akan membenarkannya meskipun kebetulan dia sedang salah. Dan ketika kita terlalu fanatik membenci orang yang salah, bisa jadi kita akan selalu menolak segala kebenaran yang datang darinya meskipun kebetulan dia memang sedang benar, padahal menolak kebenaran adalah kesombongan yang dibenci Allah SWT. Dan itulah bahaya menggunakan prasangka dan perasaan dalam menilai sesuatu, yang mana akan pasti menghilangkan nilai keadilan yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Oleh karena itulah, hanya al-Qur’an dan as-Sunnah sajalah yang akan dapat menyelamatkan kita dari kesesatan. Dan itulah mungkin inti dari pesan para Imam Madzhab yang telah mendahului kita. Dan semoga kita tergolong sebagai perindu kebenaran seperti mereka, yang mengesampingkan segenap emosi dalam menyimpulkan sesuatu. Memang akan cukup sulit untuk bisa seperti mereka, namun tentu tidak akan pernah salah untuk terus belajar dan berusaha. Sesungguhnya hanya kepada Allah SWT sajalah hakikat segala kebenaran harus selalu kita kembalikan.
Maka tetaplah masing-masing dari kita berbuat dalam keadaannya, berdasarkan kebenaran dalam warisan Rasulullah SAW tersebut, dengan tetap berusaha menjernihkan hati dan sikap kita, sesuai kemampuan dan keterbatasan masing-masing. Biarkanlah para pengamat sosial, politik ataupun ekonomi negara melaksanakan tugas mereka, dan kita pun juga melaksanakan tugas kita sendiri. Ketika setiap bagian tetap berperang dalam posisinya masing-masing, di mana yang pedagang tetap berdagang dengan baik, sang petani tetap bertugas sesuai fungsinya, sang guru juga tetap melaksanakan tugas mengajarnya, dan seterusnya, disertai oleh para penuntut ilmu agama Allah SWT yang juga tetap belajar, maka kita pun tak akan cenderung saling memaksa satu sama lain. Jika dalam memeluk Islam saja tiada pemaksaan, melainkan yang ada hanyalah penyampaian kebenaran dengan hikmah, maka terlebih lagi hanya untuk sekedar memilih posisi perang ataupun memilih bidang ilmu agama yang akan dipelajari.
Insyaa’Allah, jika memang seorang manusia telah berbuat salah dan ingin bertaubat, maka tiada manusia lain yang akan berhak menempati posisi Allah SWT dalam hal rahmat dan ampunan. Dan jika memang seorang manusia berusaha merugikan kita untuk kepentingan dirinya sendiri, maka dia pun hanya akan merugi dengan sendirinya. Dan Allah SWT adalah Saksi yang tidak pernah tidur dan tidak bisa ditipu. Jadi, tetaplah kita berfikir jernih dan menghindari sikap meresahkan semampu kita. Janganlah sampai kita justru turut berfikir dan bersikap buruk untuk menanggapi hal-hal yang tidak baik. Dan kita tak perlu ragu untuk mengakui kekurangan kita, karena kita juga sama-sama manusia biasa yang memiliki kekurangan masing-masing yang berbeda, sehingga kita pun tak perlu terbebani jika ada yang memaksa kita untuk melakukan sesuatu yang memang tak kita sanggupi. Kita persilahkan saja orang lain yang lebih sanggup dan lebih mampu agar berbuat dengan kemampuannya tersebut, dan kita juga berbuat sesuai keterbatasan kita sendiri. Tiada pemaksaan dari manusia atas manusia lainnya. Dan hanya Allah SWT sajalah yang lebih berhak untuk sepenuhnya kita taati.
Kita ikuti saja setiap ayat-ayat Allah SWT yang bertebaran di dalam al-Qur’an, maka niscaya hati kita pun akan menjadi damai dan tentram. Berbeda ketika kita mengikuti setiap kata-kata manusia, yang tak akan pernah membuat hati kita tenang, melainkan justru akan banyak terbebani. Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah SWT sajalah hati kita dapat menjadi tenang. Dan hanya dengan banyak menuruti keinginan semua manusialah hati kita akan menjadi serba salah. Sedangkan mencari-cari kekurangan manusia, maka itu adalah perbuatan melelahkan yang tak akan ada habisnya, karena memang manusia bukanlah Tuhan yang tidak ada kekurangannya. Jadi, kita syukuri saja apa adanya diri kita saat ini, dengan segala kelemahan dan kekurangannya. Bersyukurlah karena kita telah dianugerahi iman dan Islam. Insyaa’Allaah, anugerah tersebut telah cukup menjadi kegembiraan dunia dan akhirat yang harus kita jaga dengan baik. Kita kembalikan saja seluruh kehidupan kita kepada Allah SWT, agar Dia sendiri yang akan menjaga kehidupan kita dengan cara dan rencana-Nya.
Demikianlah. Dan sekiranya ada yang salah ataupun menyimpang dalam tulisan ini, maka itu adalah karena kesalahan dan ketidaktahuan penulisnya sendiri, dan hukumnya adalah wajib bagi kita untuk menjauhi dan meninggalkannya. Dan jika ada yang memang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah penutup akhir zaman, Muhammad bin Abdullah SAW, maka sebenarnya itu hanyalah ketentuan dari Allah SWT, dan bukan atas kemampuan penulisnya sendiri, karena sesungguhnya segala kebenaran, kekuatan, hidayah dan taufiq hanyalah dari dan milik Allah SWT semata.
Wallaahu a’lam.