Malam itu Shobirin seorang ayah beranak 9 baru pulang dari sebuah urusan. Ia tengah mengendarai motor. Di keramangan malam di sebuah jalan di kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Temaram malam dan mata tuanya yang sudah tidak lagi tajam, membuat ia berjalan pelan dengan sepeda motor yang ia tunggangi.
Hanya sekitar 50 meter lagi ia akan berkelok masuk ke jalan menuju perumahan tempat ia menetap. Namun saat ia berbelok ke kiri untuk memasuki jalan tersebut, maka tak bisa ia elakkan, dari arah sebrang ada sebuah motor lain yang dengan deras menubruk motornya. BRAKKKK…! Shobirin jatuh ke sisi kiri motor sementara kaki kirinya terjepit. Shobirin mengaduh sakit, sementara pengendara motor yang menabraknya tampak panik ketakutan.
Shobirin adalah seorang yang dikenal baik akhlaknya. Tidak hanya itu, di Pontianak ia juga dikenal sebagai seorang pengusaha rumah makan sukses. Kini ia dan keluarganya punya 6 rumah makan besar dengan nama ‘Bersahaja’.
Banyak orang di kota itu yang kenal dengan Shobirin dan keluarganya. Karena itu, usai kejadian tabrakan itu maka semua penduduk berhamburan menolong saat mereka tahu bahwa Shobirin terluka. Ia dibawa penduduk ke rumahnya, sementara pengemudi yang menabraknya pun diseret untuk mempertanggungjawabkan ulah.
Terdengar rintihan mengaduh dari mulut Shobirin, sementara penabrak yang seorang pelajar SMU terlihat ketakutan.
Sesampainya di rumah, Shobirin langsung dirawat oleh keluarga. Seluruh anggota keluarga merasa panik & iba. Mereka merasakan sakit yang menimpa Shobirin. Salah seorang anak menjadi ‘kalap’ hingga ingin memukul pelajar yang menabrak ayah mereka. Hampir saja wajah pelajar yang ketakutan itu menjadi bulan-bulanan anak Shobirin. Saat mereka sudah mengangkat tangan untuk memukul, dalam rintih kesakitan Shobirin masih sempat berkata, “Jangan kalian pukul anak itu! Dia tidak bersalah. Aku yang salah. Kalian tidak tahu dosa yang pernah ayah lakukan dulu!”
Shobirin adalah ayah yang ditauladani anak-anaknya. Titahnya selalu didengar. Nasehatnya selalu dijaga. Meski SD pun tak tamat, namun ia memiliki kebijaksanaan hidup yang tidak pernah habis tergali oleh kesemua anaknya yang sarjana. Karenanya, mereka semua amat menghargai dan menghormati ayah mereka.
Usai mendengarkan suara Shobirin, maka kesemua anaknya mengurungkan niat untuk memukul pelajar tersebut.
Begitu mobil kijang sudah disiapkan, maka dibawalah Shobirin ke rumah sakit untuk dirawat.
Mobil pun berjalan mengantar Shobirin ke rumah sakit, sementara pelajar yang menabrak pun dibiarkan pulang oleh keluarga Shobirin.
Beberapa hari Shobirin di rawat. Dalam sebuah kesempatan selagi berada di ruang perawatan, salah seorang anak bertanya kepadanya, “Ayah, mengapa ayah melarang kami memukul anak yang menabrak ayah?! Biar ia juga merasakan rasa sakit yang ayah rasakan. Sekalian agar ia lebih hati-hati dalam berkendara di kemudian…”
Mendengar tutur anaknya, Shobirin mengerti perasaan cinta anak itu kepada dirinya. Ia tersenyum dan berkata dengan lembut, “Sekali lagi ayah sampaikan kepada kalian bahwa anggaplah kecelakaan itu sebagai penebus dosa ayah. Kalian khan tidak tahu dosa apa yang dulu pernah dilakukan ayah… Mudah-mudahan dengan kejadian itu, sebagian dosa ayah akan diampunkan Allah Swt.”
Kesemua anggota keluarga yang hadir hingga kini belum mengerti apa yang dimaksud oleh Shobirin. Namun bagi Shobirin, kini ia mulai mengerti bahwa kejadian ini adalah bagian tak terelakkan dari pembersihan diri dari dosa yang pernah dibuat. Sebagaimana sebuah hadits yang disabdakan oleh Baginda Rasulullah Saw:
Tidak ada seorang mukmin yang tertimpa musibah, penyakit bahkan duri yang menusuk kakinya, kecuali musibah itu akan menjadi penebus dosa yang pernah ia lakukan!
Karena itu wahai saudaraku, kisah ini semoga menjadi pelajaran buat kita semua bahwa dalam menyikapi sebuah musibah pun kita harus memiliki pandagan positif yang jernih serta berbaik sangka terhadap ketentuan Allah Swt. Semoga bila kita termasuk orang yang dilapangkan hatinya oleh Allah, kita akan menemukan kemanisan takdir dalam setiap kejadian yang kita alami dalam hidup ini.
seperti penuturan 4 orang anaknya dalam sebuah acara silaturahmi di Pontianak.