Amal saleh dikerjakan tidak untuk Tuhan, tetapi untuk kebaikan manusia itu sendiri baik di dunia dan di akhirat. Orang yang sudah berbuat baik janganlah merasa sudah berbuat baik untuk Tuhan. Tak hanya itu, amal saleh juga disebut mendorong terkabulnya doa. Prinsip ini didasarkan pada ayat berikut.
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا ۚ إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
“Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allahlah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS Fathir: 10).
Keistimewaan amal saleh akan menjadikan manusia mulia di sisi Allah dan makhluknya. Jika dia telah wafat, beberapa amal saleh yang sudah dikerjakan semasa hidup tetap akan dihitung sebagai pahala.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله تعالى عنه: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: إِذَا مَاتَ ابنُ آدم انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh” (HR Muslim no 1631).
Amat banyak contoh diwariskan para pendahulu kaum Muslimin yang berstatus amalan tak terputus. Hotel Utsman bin Affan di Madinah, misalnya. Hotel dengan 15 lantai ini merupakan hasil pengembangan wakaf Sayyidina Utsman terhadap kebun kurma yang berawal dari wakaf terhadap sebuah sumur milik orang Yahudi.
Pada zaman Turki Utsmani, kebun kurma itu berhasil dikelola dengan baik. Hasilnya pun dibagi menjadi dua. Setengah untuk kemaslahatan umat, setengah lagi disimpan sebagai tabungan. Kini, tabungan yang sudah berusia lebih dari seribu tahun ini dikelola Kementerian Wakaf Arab Saudi. Dengan dana wakaf dari tabungan itu, pemerintah membeli lahan di daerah markaziah, kawasan di sekitar Madinah. Daerah ini yang sekarang dijadikan tempat pembangunan Hotel Utsman bin Affan.