Akan tetapi jika engkau berada di daerah (negeri) yang terbiasa memakai pakaian atasan dan bawahan, memakai semisal mereka tidaklah masalah. Yang terpenting adalah jangan sampai menyelisihi pakaian masyarakat di negeri kalian agar tidak terjerumus dalam larangan memakai pakaian yang tampil beda. Sungguh, Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah melarang pakaian syuhroh (pakaian yang tampil beda). (Lihat Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 284-285, terbitan Madarul Wathon).
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa memakai pakaian syuhroh, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat (HR. Abu Daud no. 4029 dan Ibnu Majah no. 360. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin menerangkan,
Mencocoki kebiasaan masyarakat dalam hal yang bukan keharaman adalah disunnahkan. Karena menyelisihi kebiasaan yang ada berarti menjadi hal yang syuhroh (suatu yang tampil beda). Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang berpakaian syuhroh. Jadi sesuatu yang menyelishi kebiasaan masyarakat setempat, itu terlarang dilakukan.
Berdasarkan hal itu, apakah yang disunnahkan mengikuti kebiasaan masyarakat lantas memakai pakaian atasan dan bawahan? Jawabannya, jika di negeri tersebut yang ada adalah memakai pakaian seperti itu, maka itu bagian dari sunnah. Jika mereka di negeri tersebut tidak mengenalnya bahkan tidak menyukainya, maka itu bukanlah sunnah. (Syarhul Mumthi, 6: 109, terbitan Dar Ibnul Jauzi).
Menyesuaikan dengan tradisi setempat itu boleh selama tidak melanggar ketentuan syariat. Sehingga tidak tepat ada yang berpendapat bahwa berpakaian bagi orang yang dikenal komitmen dengan agama adalah harus berjubah, bergamis dan berpecis putih. Kalau dianggap bahwa berpakaian seperti itulah yang paling nyunnah, itu jelas klaim tanpa dalil. Jadi sah-sah saja berpakaian koko, sarungan dan memakai pecis hitam, untuk menyesuaikan dengan masyarakat agar tidak dianggap aneh. Wallahu a’lam.
Untuk wanita sendiri, tetap mengenakan pakaian yang dituntunkan dalam Islam. Jika masyarakat punya kebiasaan memakai pakaian ketat, berjilbab kecil dan memakai celana panjang, tentu saja tidak dianjurkan untuk mengikuti mereka. Bahkan tetap berpakaian syari sebagaimana yang diperintahkan. (Inilah)
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Referensi: Syarhul Mumthi ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin; Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin/ Muhammad Abduh Tuasikal