Eramuslim – Dalam perspektif Islam, kebahagiaan (sa’adah/happiness) oleh banyak cendekiawan dan ulama didefinisikan sebagai kondisi batiniah saat manusia berada di maqam takwa.
Imam al-Ghazali, seperti dikutip Buya Hamka dalam bukunya, Tasauf Modern, mengungkapkan, ”Bahagia dan kelezatan yang sejati ialah bilamana dapat mengingat Allah.” Hutai’ah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair, wa-lastu araa al-sa’adata jam’u maalin— wa-laakin al-tuqaa lahiya al-sa’iidu (Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda, tetapi takwa akan Allah itulah bahagia).”
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari karena menolak diangkat menjadi hakim negara.
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ”ma’rifatullah”, telah mengenal Allah SWT. Selanjutnya al-Ghazali menyatakan, ”Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita rasai nikmat kesenangan dan kelezatannya dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing. Maka, kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dari tubuh manusia. Ada pun kelezatan hati ialah teguh makrifat kepada Allah karena hati itu dijadikan ialah buat mengingat Tuhan ….
Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah adalah puncak dari segala macam kegembiraan lebih dari apa yang dapat dikira-kirakan manusia sebab tidak ada yang maujud ini yang lebih dari kemuliaan Allah …. Oleh sebab itu, tidak ada makrifat yang lebih lezat daripada ma’rifatullah.” Allah SWT sudah mengingatkan: