Lantas beliau bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghani) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban).
Sebuah nasehat yang sangat mulia dari manusia mulia.
Beliau menegaskan bahwa berlimpahnya materi bukan jaminan kebahagiaan seseorang, jika hatinya miskin rasa syukur. Dia akan terus merasa kurang dari yang telah dimilikinya. Orang-orang seperti ini bukanlah orang kaya yang sesungguhnya.
Kekayaan hakiki yang bisa membawa kebahagiaan adalah kaya hati. Yakni orang yang meski tidak memiliki banyak harta, tetapi hatinya selalu dipenuhi rasa syukur atas apa yang telah ia miliki. Inilah orang kaya sesungguhnya.
Meski tidak berkelimpahan harta, tetapi rasa syukurnya membuat ia merasa cukup atas nikmat yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah qanaah, menerima pemberian Allah dengan lapang dada.
Orang yang kaya hati, tidak sedih dan gundah dengan apa pun yang menimpanya. Ketika musibah datang, dia bersabar. Ketika rezeki menghampiri dia bersyukur. Tidak ada pikiran negatif yang hadir dalam benaknya atas semua ketentuan Allah SWT.
Intinya, orang yang kaya hati dimulai dari sikap selalu ridha dan menerima segala ketentuan Allah SWT. Ia tahu dan yakin sepenuh hati bahwa apa yang Allah beri, itulah yang terbaik.
Orang yang kaya hati tidak pernah merasa hina dan rendah diri di hadapan manusia. Dia hanya merasa hina dan rendah diri di hadapan Allah. Dia memandang kedudukan setiap manusia sama. Tidak ada beda antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat, direktur dan kondektur.
Semua manusia sama derajatnya. Hanya iman dan takwa yang membedakannya. Dia akan menghormati siapa pun yang dia jumpai. Dia akan bersikap ramah kepada setiap orang. Inilah wujud nyata dari kekayaan hati yang dimilikinya. (okz)