Eramuslim – Manusia selalu mencari makna dan arti kebahagian hidup dari zaman dahulu hingga saat ini. Kebahagian menjadi tujuan hidup manusia dan terus mengejarnya.
Sebetulnya, apa itu kebahagian? Apa orang kaya selalu bahagia dan orang miskin selalu tidak bahagia? Apakah suku tertentu lebih bahagia dibanding suku yang lain?
Dalam perspektif Islam, kebahagiaan (sa’adah/happiness) oleh banyak cendekiawan dan ulama didefinisikan sebagai kondisi batiniah saat manusia berada di maqam takwa.
Imam al-Ghazali, seperti dikutip Buya Hamka dalam bukunya, Tasawuf Modern, mengungkapkan, ”Bahagia dan kelezatan yang sejati ialah bilamana dapat mengingat Allah.” Hutai’ah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair, wa-lastu araa al-sa’adata jam’u maalin— wa-laakin al-tuqaa lahiya al-sa’iidu (Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda, tetapi takwa akan Allah itulah bahagia).”
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari karena menolak diangkat menjadi hakim negara.