Eramuslim – PEREMPUAN paruh baya itu seketika lega. Beban segentong air yang sedari tadi memberati langkahnya sampai ke rumah, seketika sirna. Seorang lelaki yang tak dia kenal baru saja menawarkan diri mengangkatnya.
Begitu sampai di rumah, anak-anak perempuan itu menyambut di pintu rumah. Mereka ikut senang ada lelaki yang berbaik hati menolong ibu mereka.
Sepertinya di rumah ini tidak ada yang dapat membantu Anda membawakan air. Di mana bapak dari anak-anak ini? Lelaki itu bertanya sambil meletakkan gentong air di salah satu sudut rumah.
Suami saya seorang prajurit yang gugur ketika dikirim oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ke wilayah perbatasan. Kini, hanya saya seorang diri yang menemani anak-anak, kata sang ibu lirih.
Tidak lagi bu, kata laki-laki itu sambil menundukkan kepalanya. Ia pamit, pergi dengan membawa pikiran tentang anak-anak yatim itu dan ibunya yang hampir tak berdaya. Karena pikirannya itu, ia sulit tidur pada malam itu. Ketika matahari mulai terbit, ia mempersiapkan sekeranjang makanan yang berisi sejumlan potong daging, tepung dan kurma. Setelah semuanya siap, ia pergi kembali ke rumah anak-anak yatim itu. Setelah mengetuk pintu, ibu itu datang membukakan pintu rumahnya.
Siapa Anda? tanya sang ibu.
Saya orang yang membawakan gentong air Anda kemarin. Saya ke sini membawa beberapa makanan untuk anak-anak Anda.
Semoga Tuhan mengasihi Anda dan memberikan kita semua berkah sebagaimana yang diberikan kepada Amirul Mukminin, kata perempuan itu sambil mempersilahkan laki-lak itu masuk.
Di dalam rumah, lelaki itu menawarkan bantuan lain. Saya ingin sekali berbuat baik. Izinkanlah saya membuat roti dari adonan tepung atau membantu menemani anak-anak ini.