Hujan abu yang melanda Yogyakarta akibat erupsi gunung Kelud sudah seminggu lebih berlalu, hujan yang telah turun beberapa kali dengan cepat membersihkan debu-debu yang menempel di genteng-genteng rumah dan dedaunan. Kesumpekkan akibat debu berlalu, orang-orang dengan cepatpun mulai lupa dan membiarkan peristiwa itu tanpa mengambil pelajaran darinya. Padahal tidaklah Allah menjadikan satu peristiwa dengan sia-sia.
Ada beberapa hikmah yang bisa kita renungkan dari hujan abu yang baru saja terjadi,
Pertama, Sebagian besar masyarakat yogyakarta tidak mengira bahwa dampak erupsi gunung Kelud yang berjarak sekitar 235 km dari yogyakarta ini akan begitu tebal, dengan ketebalan hampir 5 cm, jauh lebih tebal dibanding saat erupsi Merapi dulu. Hal ini menunjukkan musibah bisa terjadi kapan saja dan dari arah yang tak diduga-duga. Malam masih bersih, paginya semua permukaan berdebu begitu tebal dan mendadak semua menjadi abu-abu. Maka semua orangpun disibukkan dengan satu acara yaitu membersihkan abu vulkanik.
Maka alangkah baiknya kita ingat kembali nasehat Rasulullah shalallahu alaihi wassalam,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim)
Jangan menunda-nunda untuk beramal sebelum datang musibah atau hal-hal lain yang akan menyibukkan kita.
Kedua, Semakin besar rumah dan semakin luas halaman kita saat hujan abu vulkanik seperti kemarin akan semakin repot dan susah kita untuk membersihkannya. Maka bayangkanlah rumah itu adalah harta kita dan debu-debu itu adalah segala hal yang mengotori harta kita yang harus kita bersihkan dengan banyak sodaqoh dan berinfaq agar kita tidak kerepotan dalam mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah kelak. Semakin banyak harta maka akan semakin repot kita mempertanggungjawabkannya kelak jika kita tidak rajin membersihkan harta kita dengan banyak infaq dan shodaqoh.
Ketiga, Ketika hujan abu begitu lebat diluar, udara begitu sumpek dan hujan yang ditunggu tak segera turun, rasanya ingin berlari dari kesumpekkan ini. Tetapi kemana hendak lari? Seluruh kota semua terliputi debu tebal, jalan-jalanpun sulit ditempuh karena jarak pandang terbatas. Jika musibah yang meliputi hampir satu propinsi saja membuat kita susah untuk lari lalu bagaimana jika yang mengepung adalah api yang menyala-nyala? Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman :
“…Sesungguhnya Kami telah menyediakan bagi orang-orang zhalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka… (QS. Al-Kahfi: 29)
Keempat, Allah dengan Kuasanya dalam waktu hanya beberapa jam saja, sekian ribu rumah, sekian juta orang dalam kisaran daerah begitu luas mengalami nasib yang sama, semuanya menjadi abu-abu. Bukankah itu artinya jika ada seseorang yang lebih dari orang lainnya itu adalah karunia yang Allah berikan kepadanya? Bukan karena kehebatannya, lalu mengapa masih ada orang yang menyombongkan dirinya?
Demikianlah sedikit dari pelajaran yang bisa kita renungkan, semoga apapun yang Allah tetapkan untuk kita akan lebih mendekatkan diri kita kepada Allah Azza wa Jalla dan menyempurnakan keimananan kita. Wallahu A’lam bisshawab.
Diatri Ratih Rahayu, S.Si.,Apt