Eramuslim – Tiap tahun masehi baru, berbagai pemberitaan menyoroti wilayah di Tanah Air yang dilanda banjir. Terjangan air bah juga menyapu sejumlah titik di Jabodetabek. Betapa banyak kerugian yang diderita, baik materil maupun nonmateri. Jumlah pengungsi akibat musibah tersebut mencapai ribuan jiwa.
Mereka mesti bertahan meski ada pula di antaranya yang memutuskan untuk kembali ke kediaman masing-masing. Bagaimanapun, ancaman penyakit di tengah endapan lumpur dan genangan masih harus diwaspadai. Tahun baru dibuka hujan dengan durasi yang cukup lama serta intensitas yang deras. Mungkin, sebagian kita dengan sesumbar menyalahkan datangnya musim hujan sebagai penyebab banjir.
Padahal, hujan sejatinya turun untuk memenuhi kebutuhan alam dan manusia akan air. Kita tentunya tidak lupa. Pada tahun lalu, kekeringan melanda banyak daerah. Bahkan, tak sedikit yang berselimut kabut asap kebakaran hutan. Itu semua berlangsung kian parah lantaran hujan tak kunjung tiba.
Panas setahun hilang oleh hujan sehari. Lantas, mengapa kini hujan yang menjadi tersangka? Cermin besar perlu kita gelar untuk mereka yang menyalahkan cuaca. Sebab, siklus alam merupakan harmoni yang antarunsurnya saling terhubung untuk menjaga keseimbangan. Yang amat sering terjadi justru tangan-tangan manusia telah merusak mekanisme yang penuh keteraturan itu.