Justru dalam hadits dijelaskan bahwa orang yang tertimba reruntuhan dan tenggelam adalah orang yang mendapat pahala syahid. Nabi Muhammad ﷺ Bersabda:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنُ وَالْمَبْطُوْنُ وَالْغَرِقُ وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Para syahid itu ada lima, yaitu orang yang mati karena wabah pes (tha’un), orang yang mati karena penyakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang meninggal karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.” (HR. Bukhari-Muslim)
Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember, Abdul Wahab Ahmad mengatakan, sikap kita terhadap sebuah musibah harus dipilah menjadi dua. Sikap terhadap diri sendiri dan sikap terhadap orang lain.
“Ketika diri kita sendiri mendapat musibah, apa pun itu mulai yang ringan hingga berat, maka seyogyanya kita introspeksi jangan-jangan itu adalah teguran Tuhan kepada kita sehingga kita bisa berubah menjadi lebih baik dan bersemangat dalam beribadah.”
Namun, lanjut Abdul Wahab, ketika orang lain yang mendapatkan musibah, apa pun itu, maka kita harus melihatnya sebagai fenomena alami (sunnatullah) yang terjadi sebab faktor-faktor natural tanpa membumbuinya dengan aneka prasangka yang menyakitkan bagi korban atau keluarganya. Apalagi bila yang terkena musibah bukanlah pelaku maksiat, seperti kebanyakan kasus gempa di Indonesia selama ini.
Dalam hal gempa di Indonesia, kita harus melihat faktor alami penyebab gempa itu apa dan bagaimana cara meminialisasi risiko di masa depan dengan cara-cara yang ilmiah seperti membuat bangunan tahan gempa, penataan pemukiman dan lain sebagainya.
Sebagai umat manusia, kita juga harus membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah dengan cara apa pun yang kita bisa, minimal mendoakan kebaikan.
“Jangan sampai ada yang gegabah menghubungkan suatu musibah sebagai azab sebab bisa saja para korban itu mendapat pahala syahid dan justru penonton yang tak tertimpa musibah itulah yang terkena azab Allah berupa istidrâj yang harus dibayar mahal kelak di akhirat,” ujar Abdul Wahab. (Okz)