مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍۢ فِي ٱلْأَرْضِ وَلَا فِيْ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَٰبٍۢ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌۭ
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22)
Gempa bumi tak mempunyai status khusus yang berbeda dengan seluruh kejadian lainnya. Tak ada bedanya antara gempa bumi dan tersandung, jatuh, pegal-pegal, tertusuk duri dan seterusnya.
Semua peristiwa itu terjadi atas izin Allah (qadar) dan sudah tercatat proses kejadiannya sejak sebelum alam semesta tercipta (qadla’). Ini adalah konteks teologis murni yang letaknya ada dalam hati sebagai bagian dari keimanan seorang Muslim.
Apakah ada keterkaitan antara gempa bumi dengan ulah manusia yang sering maksiat?
Sejatinya Allah mengingatkan hambanya dengan banyak cara, salah satunya adalah gempa bumi ini. Lihat misalnya kisah kaum Nabi Luth yang membangkang hingga mereka mendapat bencana alam hebat sebagaimana digambarkan dalam ayat berikut:
فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَٰلِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةًۭ مِّن سِجِّيلٍۢمَّنضُودٍۢ
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS. Hud: 82)
Di beberapa ayat lainnya, Allah juga memerintahkan kita untuk memperhatikan kaum-kaum terdahulu yang berakhir tragis sebab tidak mematuhi ajaran Tuhan. Lihat misalnya: