Tetapi, kita jarang pergi untuk kembali mengais lagi kearifan itu. Kita tak pernah benar-benar merasa fakir, merasa membutuhkan Allah dalam setiap kesusahan yang menimpa. Kita berdoa menengadahkan tangan ke langit, tetapi kaki kita sibuk pula melangsungkan pengabaian hak-hak Allah. Kita memohon kebaikan dan kesejahteraan yang melimpah dari Allah, tetapi menggerusnya sendiri dengan keburukan yang kita lakukan kepada sesama manusia.
Tidak ada jalan kembali yang lebih pantas daripada merenungi dan masuk ke dalam diri sendiri. Memulai lagi untuk membersihkan jiwa yang tak kita sadari telah dikotori oleh kesibukan dunia kita sendiri. Waman tazakkaa fainnamaa yatazakkaa linafsihi.
Allah tak butuh kita mendekat, tak perlu kita merapat. Allah tak butuh kita bersih-bersih, tak butuh kita merapikan diri. Justru kitalah yang membutuhkan itu semua. Butuh untuk merapikan, mensucikan, dan membersihkan diri kita lagi. Butuh untuk menyelami lagi makna fakir yang sejati.
Kita ini fakir sejati di hadapan Allah. Tak pernah kaya.
Oleh: dr. Ahmad Fuady, M.Sc.-HEPL
Peneliti di Erasmus University Medical Centre, Rotterdam, Belanda dan staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(Okz)