Ledekan kita menjelma sepinya doa dan harapan kepada Allah. Mengira bahwa kita baik-baik saja tanpaNya. Kita kerap lupa bahwa kita pernah disapa: yaa ayyuhannasu antumul fuqaraa-u ilallah. Kita ini fakir sefakir-fakirnya, tak pernah kaya di hadapan Allah. Tidak pernah lolos dari jurang kemiskinan dalam standar dan kriteria susunan Allah. Tidak pernah berhasil keluar dari bencana katastrofik takdir yang tak pernah dapat pula kita duga-duga kapan datang dan perginya.
Pada bencana-bencana personal, keluarga, masyarakat, hingga bencana berskala epidemi dan pandemi, kita barangkali sering meninggalkan Allah di pojok-pojok ruang yang tak pernah kita jenguk. Kita merasa telah begitu pandai untuk menyelesaikan persoalan. Data dihimpun sekadar angka, grafik disusun sekadar garis dan batang. Kita buta bagaimana cara membacanya.
Padahal, perkara pertama yang diminta Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq. Bacalah segala data, segala fenomena, segala fakta, segala persoalan, segala bencana yang menimpa dengan nama Tuhan yang Menciptakanmu.
Bi ismi itu bukan lafal di lidah belaka. Bi ismi itu adalah hendaya, proses, dan upaya kita membawa serta Allah dalam setiap pembacaan dan analisis, dalam setiap strategi dan kebijakan, dalam setiap langkah kecil yang kita ayunkan untuk menyelesaikan persoalan hidup.
Padahal, perkara kedua dalam pembacaan yang dimintakan Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah iqra’ warabbukal akram. Yang pada setiap kesuksesan, keberhasilan, kehebatan, dan lolosnya kita dari perkara rumit, tidak ada upaya kita yang lebih besar daripada tetes keilmuan Allah yang Maha Mulia, Maha Besar. Dia yang ‘allamal insaan maa lam ya’lam, yang memberi kita petunjuk pengetahuan, solusi ketidakberdayaan, cahaya ilmu yang menerangkan dari apa yang kita buta dan tak pahami selama ini.