Eramuslim – SUATU ketika, Abu Bakar as Shiddiq masuk ke dalam Baitul Midras – tempat orang-orang Yahudi mempelajari Taurat. Di sana sudah ada beberapa orang berkumpul mengerumuni seorang lelaki. Finhash, namanya. Lelaki yang dianggap pakar keagamaan di kelompok mereka dan sering dijadikan rujukan spiritual bagi orang Yahudi yang kehilangan kompas hidupnya.
Finhash – sebagian lagi mengatakannya Fanhash, berhadap-hadapan dengan Abu Bakar. Dengan pongah ia berkata, “Hai Abu Bakar, sesungguhnya kami tidak membutuhkan Allah, tetapi Dia-lah yang membutuhkan kami.”
Abu Bakar geram bukan kepalang. Baru saja mereka semua mendengar wahyu turun kepada Nabi Muhammad SAW: man dzalladzi yuqridhullaaha qardhan hasana, fayudhaa’ifu lahu adh’aafan katsiraa. “Siapa yang memberi pinjaman kepada Allah dengan sebaik-baiknya pinjaman, ia akan mendapat pengembalian berlipat ganda yang begitu banyak.” Adh’aafan katsiraa bermakna Tak berbilang, tak terhingga.
Kabar turunnya ayat itu menyeruak ke lorong-lorong Madinah dan hinggap di telinga orang Yahudi yang lantas menertawakannya. Mereka berbisik-bisik mengejek. Tuhan-nya Nabi Muhammad SAW tengah mencari pinjaman, sindir mereka. “Seandainya Dia – Tuhanmu itu, Abu Bakar – tidak membutuhkan kami, tentu Dia tidak akan meminta pinjaman kepada kami, seperti yang dikatakan sahabatmu – Muhammad itu,” kata Finhash membakar telinga Abu Bakar.
Abu Bakar tak dapat menahan emosinya. Finshash dipukul dengan satu pukulan yang membuatnya tergeletak. Ada bekas pukulan Abu Bakar yang tersisa di wajahnya. Jika saja tak ada perjanjian damai antara mereka saat itu, Abu Bakar mungkin saja menebas lehernya karena mengganggapnya telah menghina ayat Allah dan Nabi Muhammad SAW. Tidak ada yang lebih membakar emosi sahabat serupa Abu Bakar selain penghinaan dan ejekan kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW. Dirinya boleh diejek sampai mati, dihina sampai habis nafasnya, tetapi tidak ada ruang baginya untuk menampung emosi hinaan terhadap Rabb dan sahabat terbaiknya, Nabi Muhammad SAW.