Eramuslim – “RASULULLAH shallallahu ‘alaihi wasallam melirikkan matanya ke kanan dan ke kiri tanpa menolah.” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Khuzaemah)
Bahkan beliau pun juga pernah berjalan membukakan pintu untuk Aisyah istrinya, padahal beliau dalam keadaan sedang melakukan salat sunah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut :
Dari Aisyah radhiyalahuanha berkata, “Aku minta dibukakan pintu oleh Rasulullah padahal beliau sedang salat sunah, sedangkan pintu ada di arah kiblat. Beliau berjalan ke kanannya atau ke kirinya dan membuka pintu kemudian kembali ke tempat salatnya.” (HR. An-Nasa’i)
Dengan semua fakta di atas, masihkah kita akan mengatakan bahwa salat khusyu’ itu harus selalu berupa kontemplasi ritual tertentu?
Haruskah salat khusyu’ itu membuat pelakunya seolah meninggalkan alam nyata menuju alam gaib tertentu, lalu bertemu Allah Ta’ala seolah pergi menuju sidratil muntaha bermikraj?
Benarkah salat khusyu’ itu harus membuat seseorang tidak ingat apa-apa di dalam benaknya, kecuali hanya ada wujud Allah saja? Benarkah salat khusyu’ itu harus membuat seseorang bersatu kepada Allah?
Kalau kita kaitkan dengan realita dan fakta salat Rasul sendiri, tentu semua asumsi itu menjadi tidak relevan, sebab nabi yang memang tugasnya mengajarkan kita untuk salat, ternyata salatnya tidak seperti yang dibayangkan.
Beliau tidak pernah ‘kehilangan ingatan’ saat salat. Beliau tidak pernah memanjangkan salat saat jadi imam salat berjamaah, kecuali barangkali hanya pada salat subuh, karena fadhilahnya.