Lalu pemberi utang itu berkata, “Apakah engkau mengirimkan sesuatu untukku?” la kembali menjawab, “Aku telah kabarkan padamu, bahwa aku tidak mendapatkan sebuah perahu pun sebelum perahu yang ini.” (la tidak menceritakan kalau sudah mengirimkan uang menggunakan kayu).
Kemudian, yang memberi utang berkata. “Sesungguhnya Allah sudah menyampaikan pesan yang engkau kirim dengan menggunakan sebuah kayu, maka bawalah uang yang seribu dinar yang ada padamu menuju jalan yang lurus.”
Saudaraku. Kisah itu terjadi di zaman Bani Israil. Setelah Rasulullah SAW datang, atau zaman kita sekarang, dalam hal pinjam-meminjam sudah ada anjuran dan aturan agar tertulis. Sebagaimana disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertransaksi tidak secara tunai hingga waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menulisnya.” (QS. al-Baqarah [2]: 282)
Jadi, arti penting kisah tersebut bagi kita adalah keyakinan kepada Allah SWT Sebagaimana sabda Nabi Muhammad dalam hadist Qudsi, “Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Aku sebagaimana prasangka hambaku kepada-Ku. Aku bersamanya jika ia berdoa kepada-Ku.” (HR.Turmudzi).
Bahwa orang yang yakin Allah sebagai Saksi dan Penjamin itu tidak akan pernah dikecewakan. Begitu pun bagi orang yang yakin kepada Allah, juga tidak rumit memahami kisah ini.
Sebab, apa yang rumit bagi Allah? Seluas-luasnya laut, sekencang-kencangnya angin, serta sedahsyat dahsyatnya badai dan gelombang, seluruhnya itu milik Allah dan berada dalam genggaman-Nya. Sama sekali tidak sulit bagi Allah menyampaikan apa yang hendak Dia sampaikan. Keyakinan kepada-Nya amatlah mahal dalam kisah itu.
Sejak awal, orang yang berutang tadi yakin kepada Allah. Hanya takut dan berharap kepada-Nya. Penuh ikhtiar ia mengembalikan pinjamannya sesuai perjanjian. Kalaupun tidak disampaikan, ia yakin Allah pasti mengetahui dan menyaksikannya. Karena itu saat sudah ada perahu, ia tetap datang sendiri melunasi.Tanpa takut rugi membayar dua kali.