Eramuslim – BANYAK hal yang disabdakan Rasulullah-baik berupa informasi, perintah maupun larangan- baru diketahui hikmah atau penjelasan ilmiahnya setelah beberapa abad kemudian. Salah satunya adalah larangan meniup minuman.
Mengapa Rasulullah melarang meniup minuman? Di zaman sahabat Nabi, tidak ada pertanyaan ini. Apalagi bagi Abu Bakar yang bergelar Ash Shidiq. Senantiasa membenarkan dan mematuhi Rasulullah; tanpa reserve. Dan itulah derajat keimanan tertinggi. Begitu seseorang sudah mengakui bahwa Muhammad adalah Rasulullah, selesai semua urusan. Ia tidak perlu mempertanyakan sabda beliau atau berusaha mengkritisinya.
“Dan tidaklah dia -Muhammad- itu berbicara dari hawa nafsunya, tidaklah yang diucapkannya itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 2-3)
Begitu Rasulullah melarang sesuatu, para sahabat kemudian mematuhi larangan itu. Pun saat Rasulullah melarang meniup-niup minuman, larangan itu dipatuhi tanpa perlu mengkritisi. Larangan itu dijaga tanpa perlu mencari apa alasannya. Cukuplah alasannya, karena Rasulullah telah mensabdakannya.
Barulah pada generasi sesudahnya mulai dicari apa hikmahnya. Meskipun bukan sebuah keharusan bagi seorang muslim untuk sampai pada tingkatan mengetahui hikmah di balik larangan dan perintah, tersingkapnya hikmah dapat kian menguatkan keimanan. Bahwa ajaran Islam ternyata selaras dengan ilmu pengetahuan. Seperti kata Hasan Al Banna, Pandangan syari dan pandangan logika memiliki wilayahnya masing-masing yang tidak dapat saling memasuki secara sempurna. Namun demikian, keduanya tidak pernah berbeda dalam masalah yang qathi (absolut). Hakikat ilmiah yang benar tidak mungkin bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat yang tsabitah (jelas).