Eramuslim.com -Di antara limpahan nikmat, ada satu nikmat yang hanya Allah berikan pada hamba-hamba terpilih saja, yaitu nikmat hidayah. “Barangsiapa yang diberi petunjuk (hidayah) oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang rugi (QS al-A’raaf: 178).
Hakikatnya, syukur lahir dari rasa cinta kepada Allah (mahabatullah). Makin tinggi rasa cinta pada Allah, makin besar pula rasa syukur yang dilahirkan.
Rasulullah SAW adalah pribadi yang amat mencintai Allah, tak heran bila beliau menjadi hamba yang paling bersyukur kepada Allah. Inilah tingkat tertinggi dari bakti seorang hamba pada Tuhannya.
Sebenarnya, selain ibadah karena motivasi cinta yang berbuah kesyukuran, ada dua hal lain yang memotivasi seseorang beribadah, yaitu karena takut dan karena ingin mendapat pahala.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin, menyebut orang yang beribadah karena rasa takut sebagai “kategori budak”. Seperti halnya budak, ia akan mengerjakan sebuah pekerjaan sebaik mungkin, walau sebenarnya ia tidak suka dengan pekerjaan tersebut.
Ia beramal karena rasa takut mendapatkan siksa Tuhannya. Tidak salah memang, karena Allah telah menyediakan surga bagi hamba-hamba pilihan dan menyediakan neraka bagi hamba durhaka.
Dan setiap manusia wajib takut dengan neraka. Namun, ibadah yang dilandasi rasa takut semata akan terlihat sebagai beban yang melahirkan rasa tertekan. Orang pun akan sulit menjalin “keakraban” dengan Allah.