Misalnya ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepada pasukan untuk tidak salat Asar kecuali di perkampungan Yahudi Bani Quraidhzah. Sebagian pasukan mentaati perintah itu secara zahirnya, yaitu mereka tidak salat Asar meski matahari hampir terbenam. Sebab perjalanan mereka masih jauh dari tujuan. Barulah para malam hari mereka tiba dan sebagian dari mereka mengerjakan salat Asar di tempat yang ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meski waktunya sudah lewat.
Sebagian lagi tetap salat Ashar di jalan tepat pada waktunya, lantaran mereka memahami bahwa tujuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mereka salat Asar di perkampungan Yahudi Bani Quradhzah adalah agar perjalanan mereka lebih cepat. Namun apabila kenyataannya target itu tidak tercapai, tetap harus menjalankan salat Asar para waktunya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam mendengar perbedaan pendapat ini, beliau tidak menyalahkan salah satunya. Keduanya dibenarkan meski saling berbeda secara nyata.
Maka demikian juga yang terjadi pada ayat-ayat Alquran, banyak di dalamnya kalimat yang bisa dipahami secara berbeda, tanpa harus keluar dari kaidah baku penafsiran. Di antaranya perbedaan para fuqaha dalam menafsirkan makna quru’ yang terdapat di dalam ayat berikut, “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri tiga kali quru’.”(QS. Al-Baqarah: 228)
Ketika para ahli tafsir merujuk kepada ahli bahasa arab, ternyata makna quru’ itu memang ada 2 macam yang saling berbeda. Makna pertama adalah masa haid sedangkan makna kedua adalah masa suci dari haid. Keduanya sama-sama disebut dengan quru’ dalam bahasa arab. Dengan demikian, satu ayat ini mungkin bisa ditafsrikan menjadi tiga kali masa haid, namun pada waktu yang sama bisa ditafsirkan menjadi tiga kali masa suci dari haid. Kesalahan bukan di tangan para mufassir, melainkan Allah Ta’ala sendiri yang menurunkan ayat ini.