Meski secara hakiki segala sesuatu berasal dari Allah, umat Islam tetap perlu menjaga etika atau akhlak dan cara pandang terhadap takdir. Umat Islam perlu mengembalikan bencana sebagai sesuatu yang buruk pada manusia itu sendiri sebagaimana Surat An-Nisa ayat 79.
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Artinya, “Kebaikan yang menimpamu (berasal) dari Allah dan keburukan yang menimpamu (terjadi) karena dirimu sendiri,” (Surat An-Nisa ayat 79).
Seperti dilansir NU Online, Rasulullah juga mengajarkan akhlak kepada sahabatnya bahwa segala yang baik berasal dari Allah.
Sedangkan semua yang buruk bukan berasal dari-Nya sebagaimana hadits riwayat Muslim berikut ini:
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ
Artinya, “Seluruh kebaikan ada dalam kuasa-Mu dan keburukan tidak dinisbahkan kepada-Mu.” (HR Muslim).
Oleh karena itu, meski semuanya berasal dari Allah, manusia dituntut untuk menyatakan akhlak perihal bencana sebagai sesuatu yang berasal dari kekhilafan, kesalahan, kekeliruan, kezaliman manusia itu sendiri.
Kepercayaan terhadap takdir ini tidak menafikan kewajiban ikhtiar manusiawi. Kepercayaan kepada takdir merupakan bentuk keimanan kepada Allah. Sedangkan secara lahiriah, manusia perlu mengevaluasi dan mengintrospeksi diri apakah perilaku individu, kultur masyarakat, kebijakan pemerintah, dan alokasi anggaran yang diambil selama ini sudah ramah lingkungan. (Okz)