Penyelesain model ini lebih mengedepankan akhlak yang ditandai dengan sikap rela mengalah, mau berkorban, tidak mengumbar dendam dan sakit hati, membuang sikap egois dan mau menang sendiri, dan sebagainya. Penyelesaian dengan model ini jelas lebih baik akibatnya karena meninggalkan bekas yang damai, lembut, elegan serta (lebih bisa diterima berbagai pihak). Dalam sidang-sidang di pengadilan, khususnya dalam kasus perdata, anjuran dan tekanan untuk berdamai dan bermusyawarah untuk mencari kesepakatan sangat ditekankan dan bahkan diharuskan untuk dilakukan.
Penyelesaian model ketiga dapat dipahami dari frasa berbunyi, wa ashlaha (bahkan berbuat baik), mengajak pihak yang dirugikan untuk setingkat naik kelas lagi dengan tidak berhenti pada level memaafkan saja, namun lebih dari itu melakukan aneka kebaikan kepada orang yang telah berbuat salah kepadanya. Pendekatan model ketiga ini kiranya bisa disebut dengan pendekatan cinta, di mana ia di samping tidak menuntut balas (menuntut secara hukum) mau mengalah dan memaafkan juga malah memberikan kebaikan dan kemanfaatan kepada orang yang merugikannya.
Penyelesaian model ketiga ini jika diterapkan, dijamin akan mengakhiri konflik dengan lebih manis dan baik akibatnya. Orang yang berbuat salah akan merasa terharu dan tersentuh dengan kemuliaan dan keluhuran orang yang dirugikannya. Sehingga sangat mungkin akan berhasil menarik orang tersebut untuk melakukan kebaikan yang sama pada orang lain. Allah sendiri menjanjikan, sama seperti yang mau memaafkan, dengan pahala yang besar di sisi-Nya.
Namun demikian, ketiga model penyelesaian konflik di atas tidak selalu melulu harus berurutan dari membalas atau menuntut, memaafkan, atau justru malah mengislahi, karena sebenarnya kata kuncinya adalah islah (perbaikan kesalahan) itu sendiri, yakni mana saja yang diharapkan bisa memperbaiki kesalahatan pelaku itulah yang paling pas ditempuh.