Sebab, “laisa laka khâliqun ghairî” (tidak ada bagimu Pencipta selain-Ku) dan “lâ râziqun siwayya” (tidak ada Pemberi rezeki selain-Ku).
Jadi, suka atau tidak suka, seseorang akan terus mendapatkan rezeki dari Allah. Dan perlu diingat, rezeki itu tidak melulu berupa harta benda atau uang. Akar katanya adalah razaqa-yarzuqu-rizqan yang artinya “aushala ilaihi rizqan aw a’thâhu” (mengirimkan rezeki/pemberian kepada seseorang, atau memberikannya).
Contoh penggunaan kalimatnya, “razaqath thâ’ir farkhahu” (burung memberikan rezeki kepada anaknya). (Dr. Shauqi Dhaif, dkk., al-Mu’jam al-Wasîth, Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 2004, 342)
Artinya, rezeki bermakna sangat luas. Karena tidak ada satu pun di dunia ini yang bukan pemberian-Nya. Mata adalah rezeki, telinga adalah rezeki, lidah adalah rezeki, bahkan kehidupan sendiri adalah rezeki.
Seperti dilansir dari Muslim Moderat, semua yang berupa pemberian adalah rezeki. Maka, sebelum mempertanyakan kekurangan, kita harus melihat terlebih dahulu rezeki secara utuh.
Cara pandangnya bukan enak atau tidak enak dalam keadaan dan situasi tertentu, tapi memandang seluruhnya. Bisa jadi kita sedang susah dalam hal ekonomi, tapi kita sukses dalam hal kesehatan.
Bisa jadi kita kurang beruntung dalam pekerjaan, tapi kita sukses dalam hal lainnya. Cara pandang semacam itu penting untuk menyadarkan rasa syukur kita kepada Allah agar terhindar dari keputusasaan.
Dalam ucapannya, Imam Ibnu al-Sammak hendak menunjukkan bahwa rezeki Allah tidak berbatas, dan tidak tebang pilih. Tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas.